Sejumlah akademisi menilai kenaikan harga BBM harus diimbangi oleh sejumlah strategi agar inflasi terkendali dan daya beli masyarakat terjaga. Kebijakan menaikkan harga BBM juga harus berdasarkan pada kalkulasi yang tepat dan valid.
Rektor Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITB-AD) Mukhaer Pakkanna mengatakan pengendalian subsidi BBM harus dilakukan agar APBN tidak defisit terlalu jauh dari batas normal sesuai dengan undang-undang yakni 3%.
"Kenaikan harga BBM menjadi solusi. Tentu harus dilakukan berdasarkan kalkulasi persentase kenaikan harga yang tepat dan valid dalam satu dua hari ini, berikut simulasi implikasi serta dampak ekonomi dan sosial lainnya," kata Mukhaer dalam keterangan tertulis, Senin (29/8/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia mengatakan jika pemerintah tidak mengurangi subsidi maka bisa menghadirkan dilema yang berat. Di satu sisi, jika subsidi BBM terus dilakukan hingga Desember 2022 maka total dana jumbo yang akan menguras APBN 2022 mencapai Rp 700 triliun.
Sementara itu, jika subsidi dikurangi atau dihentikan bisa membuat harga BBM dan gas mengalami kenaikan. Imbasnya akan membuat inflasi meroket, daya beli tergerus, kemiskinan bertambah, peningkatan pengangguran, dan lainnya.
Oleh karena itu, sekalipun ingin menaikkan harga BBM, Pemerintah Indonesia harus mampu memanfaatkan dana-dana devisa ekspor yang berasal dari windfall profit dari komoditas ekstraktif, seperti hasil ekspor batu bara, CPO, nikel, dan lainnya.
"Windfall profit hasil komoditas ekstraktif ini diperkirakan jumlahnya melebihi angka Rp 500 triliun. Jangan sampai hasil devisa ekspor itu hanya diparkir di luar, terutama di negara-negara tax haven. Di sini Pemerintah harus tegas kepada pelaku eksportir itu," jelasnya.
Solusi lain yang bisa dijalankan oleh pemerintah yakni dengan fleksibilitas kebijakan. Di mana jika harga BBM dan gas global kembali normal sesuai asumsi APBN, maka Pemerintah Indonesia harus mengembalikan harga dua komoditi tersebut ke tingkat normal.
"Pemerintah bisa membuat klausul itu dalam kebijakan menaikkan harga BBM subsidi saat ini," jelasnya.
Hal senada pun diungkapkan oleh Rektor Universitas Indonesia Prof. Ari Kuncoro. Ia menilai subsidi BBM harus dikurangi sampai level di mana dampaknya tidak terlalu drastis pada sejumlah sektor.
"Kita berada pada situasi trade-off antara pertumbuhan dan ketahanan anggaran. Pertanyaannya subsidi BBM harus dikurangi sampai berapa sehingga dampaknya tidak terlalu drastis pada sektor-sektor yang berbasis mobilitas sehingga pertumbuhan ekonomi tidak tergerus terlalu banyak," jelas Ari.
Menurutnya, Pemerintah Indonesia bisa menaikkan harga BBM sebesar 30-40%. Namun perlu diimbangi dengan kebijakan separating equilibrium dengan hanya membolehkan konsumsi BBM subsidi berdasarkan jenis kendaraan roda dua, angkutan umum dan logistik. Ini merupakan strategi sequential waiting game yang pernah diterapkan oleh Pemerintah Indonesia saat menghadapi pandemi COVID-19.
"Dengan kata lain, ini strategi golden middle road yang selalu diambil Pemerintahan Jokowi, yang secara diam-diam dikagumi juga oleh berbagai institusi dunia, bagaimana Indonesia mengambil keputusan dengan cerdik, tanpa terburu-buru," tutup Ari.
(akn/hns)