Seperti diketahui, Uni Eropa (UE) pada November 2019 lalu resmi mengajukan gugatan kepada WTO perihal pembatasan Indonesia pada ekspor nikel, bijih besi, dan kromium yang digunakan sebagai bahan baku industri baja nirkarat (stainless steel) Eropa.
Dalam gugatannya, UE menilai Indonesia telah melanggar komitmen anggota WTO untuk memberikan akses seluasnya bagi perdagangan internasional, termasuk di antaranya produk nikel mentah.
Saat ini, Indonesia sedang menunggu hasil akhir dari proses penyelesaian sengketa dagang yang dilayangkan oleh Uni Eropa dalam sidang WTO terkait larangan ekspor bijih nikel. Gugatan tersebut
sedang dalam proses panel sengketa awal dan masih menunggu keputusan final dari WTO.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pelarangan ekspor bijih nikel ini telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia sejak 1 Januari 2020 lalu, dan diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor 25 Tahun 2018 Tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral Dan Batu Bara.
Bahlil menambahkan pengembangan hilirisasi industri berbasis sumber daya alam yang menjadi fokus pemerintah Indonesia saat ini membuahkan hasil positif dalam neraca perdagangan Indonesia. Pada 2017 lalu, defisit neraca perdagangan Indonesia dengan Tiongkok mencapai US$ 18 miliar, dan di tahun 2021 masih tercatat defisit sebesar US$ 2,5 miliar.
Namun, pada semester I 2022 ini, neraca perdagangan Indonesia dengan Tiongkok sudah dalam posisi surplus sebesar US$ 1 miliar, dan secara keseluruhan neraca perdagangan Indonesia juga tercatat surplus
sebesar US$ 15,55 miliar.
"Ini merupakan dampak nyata dari hilirisasi sumber daya alam yang terus didorong pemerintah saat ini. Kita harus tetap on the track. Semaksimal mungkin kita perjuangkan," tutur bahlil.
(hns/hns)