Jakarta -
William Ruto yang baru saja dilantik sebagai Presiden Kenya langsung mengambil kebijakan paling radikal. Ia langsung menghapus subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan menaikkan harga ecerannya ke harga tertingginya sepanjang masa.
Pada masa kampanyenya, dulu Ruto berjanji untuk meningkatkan kehidupan warga biasa, menciptakan lapangan kerja dan menurunkan biaya hidup, sambil menekankan latar belakang miskinnya sendiri.
Salah satu janjinya itu yakni menghapus pajak bahan bakar untuk menurunkan biayanya dan dengan demikian mengurangi biaya bahan pokok.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun dalam pidato pengangkatannya, Presiden Kenya ini mengumumkan berakhirnya program subsidi BBM. Ia menyebut negara akan rugi besar hingga US$ 2,3 miliar atau setara Rp 34,5 triliun (Kurs Rp 15.000) pada akhir tahun keuangan yakni Juni 2023.
"Ini setara dengan seluruh anggaran pembangunan pemerintah nasional," kata Ruto, dikutip dari BBC, Jumat (16/09/2022).
Tidak hanya itu, Ruto menambahkan, subsidi telah gagal mencapai tujuan yang dimaksudkan untuk menurunkan biaya hidup. Dia juga tidak akan memperbarui subsidi yang telah mengurangi separuh biaya makanan pokok, yakni tepung jagung tersebut.
Para ekonom setuju perkara penghentian subsidi BBM yang dianggap tidak berkelanjutan di Kenya ini. Dana tersebut seringkali hanya dimanfaatkan orang untuk memperoleh keuntungan.
Lihat juga video '2,1 Juta Warga Kenya Dilanda Bencana Kelaparan':
[Gambas:Video 20detik]
Bersambung ke halaman selanjutnya.
Mendukung keputusan Ruto, Analis Javas Bigambo mengatakan, untuk menggalang dukungan publik, Ruto seharusnya terlebih dulu menjelaskan perihal tersebut kepada warga Kenya dan juga bagaimana uang itu akan dialokasikan ke tempat lain.
Di sisi lain, masyarakat Kenya akan merasakan sakitnya kenaikan 13% pada biaya satu liter bensin menjadi US$ 1,49 atau setara Rp 22.350.
"Dampaknya pasti akan terasa karena harga segalanya pasti akan naik," kata Analis Herman Manyora.
Manyora mengatakan, tidak perlu terburu-buru mengambil keputusan besar seperti itu bahkan sebelum pemerintahan baru terbentuk karena hal itu membuatnya tampak seakan-akan keputusan sepihak, daripada keputusan pemerintah yang dipikirkan dengan matang.
Kondisi ini mendatangkan berbagai reaksi di media sosial. Dalam masa awal kepemimpinannya ini, Ruto beresiko kehilangan dukungan, setelah menang tipis dalam pemilihan bulan lalu.
"Saya berhenti mengemudi untuk bekerja beberapa bulan yang lalu dan sekarang saya khawatir perjalanan saya akan menjadi terlalu mahal jika matatus (kendaraan layanan umum) menaikkan tarif," kata warga Nairobi John Maina.
Jika keputusan ini tidak menurunkan biaya hidup dalam beberapa bulan mendatang, Bigambo memperingatkan, popularitas Presiden Ruto bisa mendapat pukulan besar.
"Itu akan tergantung pada berapa banyak hal lain yang dia lakukan dengan benar. Jika keputusan itu tidak menurunkan biaya hidup dalam enam hingga delapan bulan ke depan, maka kegembiraan warga biasa tidak akan bertahan lama," ujar Bigambo.
Saat ini, Kenya sedang berjuang dengan rekor utang dan di bawah persyaratan pinjaman dengan Dana Moneter Internasional (IMF), itu harus menghapus subsidi, yang menggambarkan mereka sebagai "regresif".
"Manfaat dari subsidi ini cenderung diperoleh rumah tangga yang lebih kaya (lebih) daripada rumah tangga yang lebih miskin," kata Direktur IMF Afrika Abebe Selassie.
Meski Ruto telah mencabut subsidi BBM, ia tetap mempertahankan subsidi kecil untuk solar, yang sebagian besar digunakan oleh pengangkut dan produsen. Ia juga mempertahankan subsidi minyak tanah, yang sangat penting bagi rumah tangga pedesaan untuk memasak dan penerangan.
Tidak hanya itu, Ruto juga akan mengurangi biaya pupuk, yang juga melonjak sejak invasi Rusia ke Ukraina. Ia ingin meningkatkan produksi jagung nasional di mana sebelumnya Kenya tidak menghasilkan cukup jagung untuk makan sehari-hari.
"Strategi kami untuk menurunkan biaya hidup didasarkan pada pemberdayaan produsen," kata Ruto.
Oleh karena itu, mulai Senin depan, pemerintah mengatakan akan menyediakan 1,4 juta kantong pupuk seberat 50 kg dengan harga US$ 29 atau setara 435 ribu, turun dari harga pasar saat ini yang mencapai US$ 54 atau setara Rp 810 ribu.