Badan Energi Internasional (International Energy Agency/IEA) energi surya akan menarik investasi lebih dari US$ 1 miliar atau setara Rp 14,9 triliun (kurs Rp 14.900/US$) per hari. Hal ini selaras dengan komitmen dunia untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil.
Dilansir dari CNBC, Kamis (25/5/2023), IEA melaporkan pihaknya memproyeksikan selama 2023 akan terserap dana investasi sebesar US$ 1,7 triliun atau setara Rp 25.330 triliun khusus untuk teknologi energi bersih seperti electric vehicle (EV), energi terbarukan, serta penyimpanan.
Dana tersebut lebih dari setengah proyeksi besaran investasi global di sektor energi. Adapun secara keseluruhan investasi global dalam sektor energi diproyeksikan mencapai US$ 2,8 triliun atau setara Rp 41.720 triliun selama 2023.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Direktur Eksekutif IEA, Fatih Birol mengatakan dalam sebuah pernyataan, untuk pertama kalinya investasi tenaga surya diatur demi menyalip jumlah investasi yang masuk ke produksi minyak.
"Ada kesenjangan yang semakin besar antara investasi dalam energi fosil dan investasi (dalam) energi bersih," ujar Fatih kepada CNBC.
Dalam hal ini menurutnya ada tiga alasan yang melandasi dugaan bahwa investasi tenaga surya akan mengungguli energi fosil pada tahun 2023 ini. Pertama, biaya energi bersih seperti matahari dan angin semakin murah.
Kedua, Birol mencatat, pemerintah saat ini melihat sumber energi bersih, energi terbarukan, mobil listrik, tenaga nuklir, sebagai solusi abadi untuk masalah keamanan energi mereka, selain perubahan iklim. Ketiga ialah menyangkut strategi industri, dalam hal ini menyangkut Undang-Undang Pengurangan Inflasi Amerika Serikat dan program lainnya, serta kebijakan lain di Eropa, Jepang, India, dan China.
"Pemerintah, investor, melihat bahwa bab selanjutnya dari industri ini adalah manufaktur teknologi energi bersih baterai, mobil listrik, panel surya, dan mereka memberikan insentif besar kepada investor," terangnya.
Bersambung ke halaman berikutnya. Langsung klik
Di sisi lain, meski para pendukung transisi menuju masa depan yang berkelanjutan akan menyambut baik hal di atas, mereka kemungkinan besar akan kecewa dengan proyeksi IEA bahwa batu bara, gas, dan minyak masih menarik investasi sedikit di atas US$ 1 triliun tahun ini.
"Pengeluaran investasi bahan bakar fosil saat ini lebih dari dua kali lipat tingkat yang dibutuhkan dalam Skenario Net Zero Emissions by 2050," bunyi laporan IEA.
"Ketidaksesuaian untuk batu bara sangat mencolok. Investasi saat ini hampir enam kali lipat dari persyaratan Skenario NZE tahun 2030," tambahnya.
Adapun efek bahan bakar fosil terhadap lingkungan sendiri cukup besar. PBB mengatakan, sejak abad ke-19 aktivitas manusia telah menjadi pendorong utama perubahan iklim, terutama karena pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak, dan gas.
Bayang-bayang Perjanjian Paris 2015 membayangi laporan IEA. Kesepakatan penting tersebut bertujuan untuk membatasi pemanasan global hingga jauh di bawah 2, sebaiknya hingga 1,5 derajat Celcius, dibandingkan dengan tingkat pra-industri.
Menyangkut hal tersebut, memotong emisi karbon dioksida buatan manusia menjadi net-zero pada tahun 2050 dianggap penting untuk memenuhi target 1,5 derajat Celsius.
(hns/hns)