Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, mengungkap sejumlah tantangan Indonesia dalam mengurangi emisi karbon. Pertama, permintaan atau konsumsi minyak dan gas (migas) yang kini semakin tinggi.
Hal ini diungkap saat memberikan sambutan dalam acara peluncuran buku berjudul 'Public Interest in Energy Sector' milik Komisaris Utama PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) Arcandra Tahar, di Hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan, Rabu (5/7/2023) semalam.
"Sekarang dari produksi gas nasional, 70%-80% untuk dikonsumsi dalam negeri. Jadi ini satu itu target mencapai net zero emissions, karena memang kita tujuannya untuk, sekian sekian ton per tahun bisa kita turunkan," katanya, dikutip Kamis (6/7/2023).
Tantangan berikutnya yang paling besar adalah praktek carbon mechanisms global, di mana akan diberlakukan pajak karbon. Arifin mengatakan pajak karbon telah disepakati banyak negara.
"Kami menganggap ancaman paling besar adalah justru jika diterapkannya praktek carbon mechanisms global, akan ada pajak karbon yang disepakati di seluruh seluruh negara," tuturnya.
Arifin mencontohkan seperti negara Skandinavia yang telah mematok tarif pajak karbon tertinggi. Penerapan pajak karbon ini akan berdampak besar kepada negara yang belum mengurangi emisi karbon. Salah satu dampaknya kepada industri seperti smelter.
"Apa jadinya negara-negara kalau ketinggalan di dalam mengembangi emisinya akibatnya industri-industrinya yang menggunakan berbasis energi fosil akan menyebabkan tidak kompetitifnya produk kita di pasar, apa jadinya produk kita tidak kompetitif? Risikonya akan tutup," terangnya.
Untuk itu, Arifin mengatakan Indonesia perlu memanfaatkan sumber daya alam yang luar biasa banyak untuk mengurangi emisi karbon.
"Kita harus bisa memanfaatkan sumber alam kita untuk mengurangi karbon, kita dikaruniai luar bisa, potensi untuk menyimpan karbon. Sekarang ada teknologi carbon capture," ucapnya.
Arifin juga mengungkap berdasarkan studi Rystad Energy Indonesia memiliki potensi lokasi penyimpanan karbon hingga 400 giga ton CO2 pada reservoir lapangan migas dan saline aquifer di Indonesia. Jadi peluang ini juga menjadi produk yang bisa ditawarkan ke negara-negara maju.
"Kita bisa lakukan perdagangan eh you mau nyimpan bayar. Contohnya Jepang Korea punya program menyimpan 100 juta ton CO2 cairannya setiap tahun. Kalau karbon price dinilai US$ 60 hingga US$ 100 per ton, nanti potong ongkos macem- macem, kita potensi dapat devisa dari 400 giga ton tersebut emisi Indonesia itu sampai 2060 paling 25%," pungkasnya.
(ada/das)