Indonesia disebut masih tertinggal dari sejumlah negara ASEAN soal pengembangan energi surya dan angin berskala besar.
Seorang peneliti organisasi nirlaba internasional bahkan mengatakan, belum ada proyek energi surya dan angin yang dikerjakan Indonesia.
Kapasitas energi surya dan angin berskala besar di negara-negara ASEAN tercatat mencapai 28 gigawatt (GW) atau tumbuh 20% dalam periode Januari-1 November 2023. Vietnam, Thailand, dan Filipina menjadi tiga negara dengan energi surya dan angin terbesar di Asia Tenggara. Sementara Indonesia, masih bertengger di posisi kedelapan dari total 10 negara ASEAN.
Mengacu pada Laporan Global Energy Monitor (GEM) bertajuk "A Race to the Top: Southeast Asia 2024", Vietnam adalah negara dengan kapasitas energi surya dan angin terbesar di Asia Tenggara dengan total kapasitas 19.501 megawatt (MW). Posisi kedua dan ketiga diikuti Thailand dengan kapasitas 3.133 MW serta Filipina dengan kapasitas 3.018 MW.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kapasitas energi surya dan angin Indonesia sendiri tercatat berada di angka 178 megawatt (MW). Ini masih di bawah 1% dari total kapasitas pembangkit listrik nasional.
Padahal menurut laporan GEM, pertumbuhan kapasitas energi surya dan angin di ASEAN terlihat sejalan dengan komitmen energi terbarukan yang dijanjikan. Namun, lambatnya progres konstruksi proyek baru tantangan regulasi energi terbarukan, serta ketergantungan pada bahan bakar fosil, masih menjadi hambatan dalam transisi energi bersih di ASEAN.
"Dengan dunia global menargetkan kapasitas energi terbarukan naik tiga kali lipat pada 2030, pemerintah perlu mempermudah upaya mengembangkan energi surya dan angin. Beralih dari batu bara dan gas ke energi terbarukan akan menghemat waktu dan anggaran negara-negara menuju masa depan energi bersih," ucap peneliti sekaligus penulis GEM Janna Smith, dalam keterangan resmi, Jumat (19/1/2024).
Janna mengatakan Filipina dan Vietnam memiliki prospek proyek energi surya dan angin masing-masing 99 GW dan 86 GW. Angka tersebut mencapai 80% dari total prospek kapasitas regional dan termasuk urutan ketujuh dan kedelapan prospek kapasitas terbesar dunia.
Adapun Indonesia, ucap Janna, tercatat memiliki 19 GW proyek energi surya dan angin prospektif atau terbesar ketiga di Asia Tenggara.
ASEAN pun memiliki potensi energi angin lepas pantai mencapai 124 GW atau lima kali lipat dari potensi di darat. Ini setara hampir dua kali lipat kapasitas pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) lepas pantai global yakni 69 GW.
Kendati memiliki berbagai proyek yang prospektif dalam perencanaan, Janna mengungkap hanya sebagian kecil yang sudah mulai konstruksi yaitu 6 GW (3%) atau hanya seperempat rata-rata global.
Khusus di Indonesia, Janna mengatakan kapasitas perencanaan proyek tenaga surya dan angin sebenarnya termasuk tiga terbesar di Asia Tenggara. Namun, belum ada satu proyek pun yang mulai dikerjakan.
Menanggapi hal tersebut, Peneliti Yayasan Indonesia CERAH, Sartika Nur Shalati, menilai sudah saatnya Indonesia menggenjot pembangunan proyek energi bersih dengan aturan energi terbarukan yang memadai. Menurutnya, pengembangan energi terbarukan pun sebaiknya tidak dicampur energi fosil.
Selain itu, Sartika menilai dukungan kemudahan investasi untuk pengembangan hal itu juga diperlukan.
"Dengan mengalihkan subsidi energi fosil untuk insentif energi terbarukan secara bertahap, maka selain mempercepat masa transisi energi, juga mengefisienkan anggaran negara. Apalagi tahun depan, kita harus mengejar target bauran energi terbarukan hingga 25% yang saat ini masih sekitar 12%" katanya.
Untuk mencapai target kapasitas energi terbarukan 35% pada 2025, Sartika melihat negara-negara ASEAN hanya perlu meningkatkan kapasitas 10,7 GW dari yang sudah ada.
Dengan 23 GW ditargetkan mulai beroperasi pada 2025, ia percaya negara-negara ASEAN berpotensi melampaui target yang telah ditetapkan.
(rrd/rir)