PP 79/2014 terkait KEN mempunyai target bauran energi terbarukan sebesar 23% 2025 yang akhirnya dimundurkan menjadi 2030 dalam rancangan revisi beleid ini. Di dalam RUKN 2024, target bauran energi terbarukan Indonesia adalah 29,4% pada 2034 dan dalam RUPTL terbaru 34,3% pada 2034.
Peraturan Presiden 112/2022 yang seharusnya mendorong percepatan transisi energi justru masih memberikan insentif pada sektor batu bara, tepatnya dengan memberikan pengecualian pada pembangunan PLTU di kawasan Industri dan yang beroperasi hanya sampai 2050.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, PLTU yang 'diintegrasikan' dengan energi terbarukan juga masih diperbolehkan untuk beroperasi. Hal ini berdampak langsung dengan lahirnya 'PLTU hybrid' di mulut tambang pada RUPTL 2025-2034, seperti rencana pembangunan PLTU Kalselteng 4 yang menggabungkan PLTU mulut tambang dengan kapasitas 400 MegaWatt (MW), PLTS 40 MW, dan baterai berdaya 25 MW.
Selain itu, Peraturan Menteri ESDM (Permen ESDM) 10/2025 tentang Peta Jalan Transisi Energi di Sektor Ketenagalistrikan tidak merinci daftar PLTU mana saja yang akan segera dimatikan dan justru memberikan ruang untuk penggunaan teknologi penangkapan karbon (carbon capture and storage/CCS) yang dapat memperpanjang penggunaan energi fosil. PLN pun telah mengungkapkan rencana pemasangan teknologi tersebut pada PLTU dengan total kapasitas 2 GW pada 2040 dan 19 GW pada 2060.
Kebijakan energi terbarukan yang inkonsisten ini akhirnya membuat banyak investor ragu untuk berinvestasi di Indonesia. Ketidakjelasan kebijakan, perubahan regulasi yang mendadak, dan lemahnya implementasi akhirnya menjadi penghalang utama masuknya investasi yang sangat dibutuhkan untuk membiayai transisi energi.
Padahal, Indonesia memiliki ruang fiskal yang terbatas untuk dapat membangun infrastruktur energi terbarukan. Oleh karena itu, perbaikan kebijakan perlu diprioritaskan agar investor tidak ragu untuk masuk ke Indonesia.
Ketiga, untuk dapat meningkatkan pembangkitan energi terbarukan di Indonesia, pemerintah juga harus mulai serius membenahi sistem jaringan listrik nasional. Kita dapat melihat di dokumen RUPTL 2025-2034, pemerintah berencana menyambungkan jaringan listrik antar pulau, seperti Sumatera-Jawa pada 2031, Kalimantan-Jawa pada 2034, dan Kalimantan-Sulawesi pada 2040.
Hal ini sangat diperlukan untuk menjamin pasokan listrik dari energi terbarukan dapat dialirkan ke seluruh Indonesia. Jaringan listrik yang kuat juga dapat menjamin kestabilan keseluruhan sistem ketika banyak pembangkit energi terbarukan yang masuk.
Itulah mengapa rencana penggunaan smart grid (jaringan pintar) oleh PLN yang dapat dikontrol otomatis dan memiliki baterai penyimpanan juga perlu segera diwujudkan untuk menopang peningkatan energi terbarukan yang direncanakan pada 10 tahun ke depan.
Akselerasi energi terbarukan tidak hanya soal niat ataupun pernyataan politik di panggung internasional. Kemauan politik yang kemudian diwujudkan dalam kebijakan yang mendukung menjadi kunci jika betul-betul ingin mencapai ambisi 100% energi terbarukan dalam waktu 10 tahun ke depan. Karena jika memang mau, pasti akan selalu ada cara untuk mewujudkannya.
Wicaksono Gitawan
Policy Strategist CERAH
(ang/ang)