Kementerian Keuangan mengenakan pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN) atas transaksi perdagangan aset kripto. Aturan ini berlaku mulai 1 Mei 2022.
Kepala Sub Direktorat Pajak Pertambahan Nilai Perdagangan, Jasa dan Pajak Tidak Langsung Lainnya, Bonarsius Sipayung mengatakan dasar penarikan PPN dan PPh dilihat dari pergerakan aset kripto itu sendiri.
"Ketika aset itu bergerak, dari satu akun ke akun lain. Apakah itu dalam konteks jual-beli atau dalam konteks tukar-menukar, itu terutang PPN. Bukan konteksnya uang yang keluar dari e-wallet dan terutang PPN," kata Bonarsius dalam konferensi pers virtual, Rabu (6/4/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Oleh karena itu, pihak yang bertanggung jawab untuk menarik PPN dan PPh ini adalah mereka yang memfasilitasi jual dan beli aset kripto. Bonarsius mencatat saat ini terdapat 13 marketplace yang sudah diakui sebagai pihak transaksi jual beli aset kripto dan terdaftar di Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti).
Pihaknya pun membedakan tarif PPN aset kripto berdasarkan izin Bappebti. Jika dilakukan melalui exchanger terdaftar, tarif PPN yang dikenakan sebesar 0,11%. Sedangkan exchanger tidak terdaftar, tarif PPN menjadi sebesar 0,22%.
"Yang di Bappebti lebih rendah karena masuk dalam sistem, dia terdaftar, muncul di Bappebti. Sementara perdagangan di kripto kita tahu sendiri, siapa saja bisa masuk, membuat market sendiri tanpa terdaftar di Bappebti, ini kita kenakan tarif lebih tinggi," jelas Bonarsius.
Untuk itu, katanya, jika penyelenggara aset kripto ingin mendapatkan tarif PPN yang lebih murah, harus terlebih dahulu mendapat izin Bappebti. Kebijakan tersebut selaras dengan kebijakan Kementerian Perdagangan untuk menumbuhkan perkembangan kegiatan usaha aset kripto yang aman di Indonesia.
"Kalau nggak mau diatur, kena tarif lebih tinggi. Kita harus selaras dengan Kemendag, yang ada di sistem kementerian itu kita dukung dengan tarif yang lebih rendah," tandasnya.
(aid/das)