Tekstil RI Lesu, Pengusaha: Harga Kapas Selalu Jadi Permainan

Tekstil RI Lesu, Pengusaha: Harga Kapas Selalu Jadi Permainan

Muhammad Idris - detikFinance
Senin, 29 Agu 2016 11:26 WIB
Foto: Michael Agustinus
Jakarta - Sejumlah pengusaha tekstil mengeluhkan, susahnya bahan baku membuat tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam negeri sulit bersaingan dengan negara lain. Pabrikan TPT mengeluhkan bea masuk dan bea impor yang dianggap terlalu tinggi.

Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Timur, Sherlina Kawilarang, mengatakan ada setidaknya 3 bahan baku utama yang membuat pengusaha industri TPT sulit berkembang, yakni kapas, rayon, dan polyester.

"Kita ini nggak bisa hasilkan kapas, 100% harus bergantung impor. Dan harga kapas ini selalu jadi permainan, sudah berapa pabrik spinning (pemintalan) yang harus tutup karena fluktuasi harga kapas. Saya harap pemerintah bisa bantu supaya harga kapas ini tak dipermainkan," kata Sherlina di acara Breakfast Meeting Kementerian Perindustrian, Jakarta, Senin (29/8/2016).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kedua, lanjutnya, yakni masalah bahan baku rayon yang juga membebani perusahaan dengan bea masuk dan bea impor yang tinggi.

"Pabrik rayon di Indonesia hanya ada 2 pabrik, itu juga untuk kebutuhan mereka sendiri. Kita pembeli ngemis-ngemis pada pabrik rayon (dalam negeri) tak dikasih. Tapi kita mau impor kena bea impor 5%, bea masuknya 2,5%. Kita minta ini ditiadakan. Rayon mahal, akhirnya benang jadi mahal, ini yang buat kita nggak kompetitif," ujar Sherlina.

Terakhir, yakni bahan baku berupa polyester yang juga dikenakan bea masuk dan bea impor seperti halnya rayon, plus tambahan tarif anti dumping pada impor polyster.

"Polyester terpaksa juga kita harus impor, karena di dalam negeri harganya juga lebih mahal. Yang parahnya, polyster ini ada anti dumpingnya. Ini kan bunuh spinning lokal, karena kita minta di pabrik lokal barangnya selalu nggak ada. Jadi ini yang bikin kain yang kita jual di pasar dunia jadi lebih mahal," terang Sherlina. (wdl/wdl)

Hide Ads