Kebijakan tersebut kemudian diterbitkan secara formal pada 13 Maret 2019. Lalu, pada 10 Juni 2019, Uni Eropa resmi mengukuhkan kebijakan tersebut (Delegated Act). Atas kebijakan tersebut, kelapa sawit dicoret dalam program energi hijau di negara-negara UE. Sehingga, biodiesel berbasis kelapa sawit sudah tidak diperbolehkan di UE pada tahun 2030. Pasalnya, RED II menempatkan kelapa sawit sebagai komoditas berisiko tinggi terhadap perusakan hutan (deforestasi)/(ILUC). ILUC sendiri dinilai cacat ilmiah.
Belum lagi tudingan Uni Eropa terhadap pemerintah Indonesia. Uni Eropa menuding pemerintah memberikan subsidi yang terlalu besar terhadap pengusaha kelapa sawit. Sehingga, ketika kelapa sawit Indonesia diekspor ke Eropa, harganya sangatlah murah. Keputusan finalnya, Uni Eropa mengenakan tarif ekspor atau bea masuk terhadap 4 perusahaan biodiesel Indonesia sebesar 8-18%.
Tak hanya menggugat Uni Eropa, pemerintah juga mengecam benua biru tersebut dengan berbagai upaya. Mulai dari ancaman terhadap pembelian pesawat Airbus, pengenaan bea masuk terhadap produk olahan susu (dairy products) dari Eropa, dan sebagainya.
Simak kilas balik perjuangan Indonesia melawan diskriminasi kelapa sawit dari Uni Eropa.
Simak Video "Waduh, Swiss Bakal Gelar Referendum Tolak Sawit Asal Indonesia"
[Gambas:Video 20detik]