Masih dari hasil survei tersebut, Imanina menyebut sekitar 28% perokok usia dini menghabiskan sekitar satu sampai dua batang rokok per hari. Hal ini sesuai dengan kondisi perekonomiannya yang masih belum terpenuhi.
Menurut dia, kekuatan finansial kelompok ini masih bergantung dari keluarga atau pemberian orang tua. "Perokok usia ini lebih suka beli rokok eceran, bahasanya ketengan," katanya.
Lebih lanjut dia mengungkapkan, ada banyak faktor yang membuat masyarakat usia dini mampu mengakses rokok, mulai dari lingkungan hingga pendidikan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara ekonom senior Indef, Enny Sri Hartati mengungkapkan kenaikan tarif cukai rokok bukan menjadi satu-satunya instrumen yang bisa menurunkan prevalensi perokok usia dini.
"Saya tidak bisa langsung simpulkan kenaikan CHT tidak mempengaruhi prevalensi perokok, tapi dari data ini kenaikan CHT bukan satu-satunya instrumen untuk menurunkan prevalensi merokok," kata Enny.
Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal, Pande Putu Oka mengungkapkan fiskal bukan menjadi satu-satunya alat pemerintah untuk menurunkan prevalensi perokok usia dini yang terjadi di tanah air.
Menurut dia, harus ada strategi non fiskal yang dijalankan oleh para stakeholder pemerintah di industri pertembakauan nasional.
"Selain fiskal tadi, diperlukan juga non fiskal, seperti melarang iklan rokok, gambar bahaya merokok. Ini harus saling bekerja bersama," kata Oka.
(hek/fdl)