Menteri Riset dan Teknologi Bambang Brodjonegoro mengatakan Indonesia masih ketinggalan soal teknologi vaksin COVID-19. Baik dari program risetnya maupun dari sektor manufakturnya.
"Kalau Indonesia dibilang ketinggalan di bidang teknologi vaksin saya akan bilang iya, baik di sisi riset dan manufacturing-nya," kata Bambang dalam rapat kerja bersama Komisi VII DPR, Senin (18/1/2021).
Dia menjelaskan selama ini Indonesia belum terbuka dengan beberapa platform vaksin terbaru. Bahkan, penelitian vaksin yang dilakukan oleh Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Airlangga (Unair) pada konsorsium Vaksin Merah-Putih kemungkinan akan sulit diproduksi. Pasalnya, belum ada perusahaan farmasi di Indonesia yang mampu memproduksi vaksin dengan platform yang dikembangkan UI dan Unair.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bio Farma yang selama ini menjadi perusahaan pelat merah ujung tombak pemerintah dalam program vaksinasi pun tak mampu memproduksi vaksin COVID-19 dengan platform yang digunakan UI dan Unair.
"Selain hasil penelitian Eijkman, ini ada juga dari UNAIR dan UI yang penelitiannya paling cepat, hanya saja vaksin mereka ini platform-nya belum bisa diproduksi di Bio Farma," ujar Bambang.
"Bio Farma hanya bisa melakukan dengan platform protein rekombinan ataupun inactivated virus seperti di Sinovac," tambahnya.
Adapun platform vaksin yang diteliti UI menggunakan platform m-RNA dan Unair menggunakan adenovirus. Bambang pun meminta agar pihak swasta mau ikut masuk dan berinvestasi ke dalam pengembangan vaksin ini. Khususnya dalam mengembangkan manufaktur farmasi yang mampu memproduksi vaksin dengan platform baru macam m-RNA dan adenovirus.
"Untuk platform adenovirus yang dipakai UNAIR dan m-RNA yang dipakai UI, kami berharap perusahaan swasta mau bergabung ke konsorsium vaksin COVID-19 dan bisa melakukan pengembangan di sana," ujar Bambang.