Ekonom senior INDEF, Enny Sri Hartati berpandangan, kenaikan cukai hasil tembakau yang eksesif dan affordability yang menurun, maka potensi kenaikan rokok ilegal cukup tinggi.
"Makanya sebelum pandemi COVID-19 target tahun 2020 terjadi penurunan untuk rokok ilegal sekitar 3,09%, tapi hasil kajian dari UGM rokok ilegal naik lagi 4,86%, dan ini masih catatan karena rokok ilegal berdasarkan hasil penindakan, yang belum ditindak mungkin bisa lebih dari 4%," kata Enny.
Enny mengatakan kenaikan CHT korelasinya dengan rokok ilegal tidak hanya dialami oleh Indonesia. Di Malaysia peredaran rokok ilegal ketika terjadi kenaikan cukai yang eksesif, maka kenaikan rokok ilegalnya semakin tinggi. Tapi bila kenaikan cukainya tidak terlalu eksesif, maka peredaran rokok ilegalnya juga tidak terlalu tinggi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Di Malaysia, kerugiannya sampai 2016 kalau dikonversi ke rupiah sekitar Rp 13 triliun," imbuhnya.
Demikian juga di Pakistan. Dari 2013 sampai 2016 sebesar 87% karena kenaikan cukainya lebih tinggi 2 kali angka inflasi. Artinya kalau kita kenaikan cukai 12,5% inflasi 2%, itu berapa kali lipat dari inflasi.
"Di Pakistan saja dengan kenaikan 2-4 kali lipat dari inflasi sudah berpotensi meningkatkan rokok ilegal, dan selisih antara rokok legal dan ilegal semakin besar sehingga kerugiannya Rp 24,6 miliar rupe atau sekitar Rp 3 triliun rupiah," tegasnya.
Sementara, anggota Komisi XI DPR RI Hendrawan Supratikno menilai bahwa kenaikan CHT yang dilakukan pemerintah di tahun 2021 merupakan hal yang lumrah. Sepanjang kenaikan tersebut disesuaikan dengan kondisi daya beli masyarakat saat ini.
Hanya saja, kata dia, bilamana kenaikan tersebut tidak berpijak pada kondisi riil yang ada atau untuk kepentingan lain, maka hal itu justru akan kontraproduktif.
"Kenaikan yang wajar dapat diterima oleh pelaku industri. Kenaikan yang wajar harusnya pada kisaran tingkat inflasi. Bila dipakai dasar lain, seperti hasrat menambal defisit APBN, ini akan memperberat beban industri dalam menghadapi kesulitan yang sekarang sedang dihadapi akibat pandemi dan resesi," ujar Hendrawan.
(kil/ara)