Febri menjelaskan, struktur tarif cukai rokok di Indonesia masih kompleks karena dibedakan berdasarkan jenis dan jumlah produksi. "Sebenarnya idealnya ketika kebijakan cukai itu ditujukan untuk pengendalian konsumsi, seharusnya tidak diperlukan lagi pembedaan tarif dari golongan. Yang disarankan adalah tarif seragam. Penggolongan juga tidak efektif dan tidak ideal untuk memisahkan pabrikan kecil dan besar. Menurut saya batasan produksi 3 miliar batang untuk menentukan golongan itu masih terlalu besar," katanya.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan Kunta Wibawa mengatakan untuk mencapai pengendalian konsumsi tembakau yang efektif, kesadaran masyarakat juga perlu dibangun. "Merokok berkontribusi sebagai penyebab kematian tertinggi di Indonesia, yakni penyakit jantung, strok, dan kanker. Rokok merupakan pemicu dari penyakit-penyakit tersebut," ujarnya.
Kunta mengatakan, kerugian yang ditimbulkan rokok juga sangat tinggi, khususnya secara ekonomi untuk kelompok masyarakat rentan yang berpenghasilan rendah seperti anak-anak dan remaja.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketua umum Komnas Pengendalian Tembakau Hasbullah Thabrany mengatakan, pengendalian konsumsi tembakau menjadi penting agar masyarakat dapat hidup sehat dan produktif. "Dari sisi kesehatan masyarakat, masalah tembakau merupakan masalah kesehatan masyarakat yang paling rumit," ujarnya.
Hasbullah mengungkapkan, kebijakan kenaikan cukai yang dilakukan tiap tahun di Indonesia tidak efektif dalam menurunkan prevalensi perokok di Indonesia sehingga tujuan pengendalian konsumsi belum tercapai. Indikator keberhasilan cukai adalah prevalensi perokok yang menurun, namun Indonesia menunjukkan sebaliknya.
"Perokok paling besar di usia 15-19 tahun padahal ini yang diharapkan menjadi generasi emas di 2045. Jika masih merokok, generasi emas ini berubah jadi generasi cemas. Hal ini bisa jadi terjadi karena dosis cukainya belum cukup karena pilihan rokok yang banyak sehingga masyarat dapat beralih ke rokok yang lebih murah," katanya.
(fdl/fdl)