Pemerintah disebut harus menekan prevalensi perokok anak yang masih tinggi. Tingginya angka perokok pada kelompok rentan ini disebabkan oleh maraknya rokok murah, sehingga masih terjangkau oleh anak anak.
Peneliti Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) Renny Nurhasana mengungkapkan kondisi ini terjadi karena banyaknya rokok murah dari golongan 2 yang memiliki tarif cukai lebih murah dibanding rokok golongan 1.
"Hal ini berpotensi mendorong variasi harga rokok semakin lebar, dimana membuat rokok murah makin mudah ditemukan," ujarnya.
Banyaknya rokok murah pada golongan 2 ini, lanjutnya, berpeluang lebih besar terjadi pada anak-anak yang semestinya mendapatkan perlindungan dari perilaku merokok.
Renny menjelaskan pada satu bungkus rokok terdapat 12 batang, maka selisih dari tarif cukai antara golongan 1 dan golongan 2 hampir menyentuh angka Rp 5.000 per bungkus.
"Hal ini mendorong pabrikan mencari jalan untuk produksi rokok di golongan 2, termasuk melakukan turun golongan. Konsumen juga akan tertarik beralih ke rokok golongan 2 karena selisih harga yang besar dan jauh lebih murah," terangnya.
Kondisi ini, kata Renny, tidak sejalan dengan target pemerintah untuk menurunkan prevalensi perokok anak di Indonesia.
"Oleh karena itu, upaya yang perlu dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah ini adalah memperkecil celah tarif cukai antargolongan dengan lebih mendekatkan tarif cukai golongan 2 dengan tarif cukai golongan 1 agar selisih tarif rokok per bungkus di pasaran tidak terlalu besar. Pada akhirnya harga rokok murah akan naik dan semakin tidak terjangkau anak-anak," ujar dia.
Simak Video "Video Kemenko PMK: Tarif Cukai Efektif Tekan Angka Perokok Usia 10-18 Tahun"
(fdl/fdl)