Pemerintah sedang mempersiapkan Peraturan Presiden (Perpres) percepatan swasembada gula konsumsi 2025 dan rafinasi 2030. Namun, publik menilai aturan tersebut tidak lebih dari mendapatkan kuota impor gula tanpa ada keseriusan meningkatkan produksi gula dalam negeri.
Pengamat Pertanian Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori menilai aturan terkait gula dari hulu hingga hilir, dari Undang-Undang Cipta Kerja hingga Peraturan Menteri Perdagagan, Perindustrian hingga Pertanian semuanya punya aturan sendiri-sendiri terkait gula nasional, namun target swasembada gula tidak kunjung tercapai bertahun-tahun lamanya.
"Peraturan soal pergulaaan di Indonesia ini sudah sangat banyak sekali, bahkan over regulated, kebanyakan dari Undang-Undang Perkebunan 2004 lalu direvisi 2014 dalam Undang-Undang Cipta Kerja, ada PP nya juga, belum lagi kemenperin keluarin aturan, Kemendag, Kementan semuanya mengeluarkan aturan, sebentara lagi rencananya ada Perpres percepatan swasembeda gula, terlalu banyak aturan dan target swasembada tidak kunjung tercapai," ungkap Khudori dihubungi, Selasa (17/10/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, rencana Perpres Percepatan Swasembada yang akan dikeluarkan pemerintah dengan target swasembada gula konsumsi pada 2025 dan swasembada gula rafinasi 2030 terlalu mengada-ada. Pasalnya tidak ada langkah teknis dan tahapan per tahapan untuk mencapai target tersebut, sementara yang paling ditekankan dalam Perpres tersebut hanya impor gula.
"Contoh target swasembada gula rafinasi? langkah-langkahnya apa? di Perpres itu hanya ngomongin PTPN ditugaskan nambah area perkebunan, bentuk anak usaha yang bisa patungan dengan investor. Kondisinya 11 pabrik gula rafinasi di Indonesia itu semuanya milik swasta, tidak ada yang BUMN, di Perpres itu tidak ada melibatkan mereka (swasta). Lalu mau nambah produksi gula rafinasi, dari mana lahan kebunnya, karena 11 pabrik gula rafinasi itu adanya didekat pelabuhan, panen gulanya di pelabuhan yang artinya sejak awal di bangun, pabrik-pabrik ini memang untuk panen gula impor," ungkapnya.
Menurut Khudori, permasalahan utama gula nasional adalah lahan yang terbatas dan bahkan saling berebut dengan tanaman pokok lainnya seperti padi (beras), jagung dan kedelai.
"Lahan tebu kita terbatas dan sebagian besar merupakan lahan persawahan, jadi kalau nanam tebu tidak menguntungkan, maka sama petani ditanam padi atau jagung atau kedelai, lahannya jadi satu. Sementara petani sejak 2016 dipatok keuntungan mereka dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) dari 2016 dan baru naik lagi sebesar 12.500 per kilogram. Bertahun-tahun tidak pernah naik, sementara kebutuhan pokok, upah dan BBM naik terus," ungkapnya.
Dirinya pun pesimistis dengan Pembentukan PT Sinergi Gula Nusantara (SGN) atau SugarCo dapat mencapai target swasembada. Seperti diketahui, SugarCo dibentuk pada 17 Agustus 2021 yang merupakan anak usaha Holding Perkebunan Nusantara, gabungan dari tujuh anak perusahaan pengelolaan perkebunan tebu yakni PTPN II, PTPN VII, PTPN IX, PTPN X, PTPN XI, PTPN XII serta PTPN XIV.
Bersambung ke halaman selanjutnya.