Para pengusaha tekstil meminta perlindungan hukum pasca penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Pasalnya, Perppu ini dirasa justru akan menambah beban pengusaha yang tengah mengalami masa berat sejak awal 2022.
Wakil Ketua Bidang ketenagakerjaan dan Pengembangan SDM Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Nurdin Setiawan mengatakan, sejak awal 2022 penurunan order pada industri tekstil mencapai 30-50%.
Bahkan, pada kuartal I 2023 ini, Nurudin mengatakan, rata-rata orderan hanya mencapai 65%, yang artinya 35% operasional perusahaan kosong. Di sisi lain, pihaknya masih harus terus menggaji tenaga kerjanya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi kalau melihat situasi dan kondisi saat ini dengan keluarnya Perppu 2 2022, terutama kalau melihat di pasal 88F, kita sudah tidak memiliki kepastian hukum dalam hal apapun, baik dalam ketenagakerjaan dan lain sebagainya," ujar Nurdin dalam Konferensi Pers Apindo terkait Perppu Cipta Kerja, Selasa (03/01/2022).
Alih-alih mempertahankan perusahaan dan menjaga hubungan kerjanya, Nurdin mengatakan, pengusaha tekstil justru malah mendapat beban tambahan lewat Perppu ini.
Termasuk, tidak adanya jaminan dan perlindungan hukum bagi para perusahan padat karya berorientasi ekspor dan ekosistemnya. Apalagi, biaya tenaga kerja merupakan biaya terbesar kedua setelah material cost.
"Jadi sangat-sangat berat. Dengan kenaikan upah minimum yang di atas rata-rata, bukan hanya berdampak sisi upahnya saja, tetapi kita harus bayar BPJS 10,24% dari selisih upah minimum. Kemudian yang kedua dari THR, kita harus bayar juga dalam selisih upah minimum," katanya.
Tidak hanya itu, menurutnya, apabila kenaikan upah ini juga tidak bisa dibarengi dengan kenaikan produktivitas, akan mengakibatkan peningkatan biaya lembur. Bahkan kalau ditotal-total, beban keuangan yang harus dikeluarkan pengusaha untuk karyawannya, ditambah dengan berbagai tunjangannya, lebih dari satu kali lipat upah minimum (UM).
"Dengan kondisi yang seperti ini, di mana kami mengharapkan ada satu perlindungan (hukum) pemerintah dalam hal ini terhadap perusahaan-perusahaan padat karya yang berorientasi ekspor," ujarnya.