Hingga saat ini industri daur ulang belum memperoleh bahan baku jenis plastik polyethylene terephthalate (PET) yang dibutuhkan dari dalam negeri. Akibatnya, industri daur ulang harus mengimpor bahan baku sampah plastik hingga 750 ribu ton per tahun.
Bahkan, permintaan industri plastik nasional diprediksi akan terus meningkat hingga menjadi 8 juta ton pada tahun 2025.
"Tingkat daur ulang (recycle rate) sampah plastik di Indonesia baru menyentuh angka 7%, dengan jenis plastik jenis PET (yang lazim digunakan untuk kemasan AMDK botol dan galon) mencapai 75% tingkat daur ulang," dikutip dari laporan lembaga Sustainable Waste Indonesia (SWI) seperti dalam keterangan tertulis, Jumat (13/1/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski kerap dituding sebagai sampah tak berguna, sampah plastik jenis PET merupakan bahan baku penting dalam industri daur ulang. Sampah plastik jenis PET juga berperan besar dalam ekonomi sirkular di Indonesia serta membantu menyelesaikan persoalan lingkungan dan ekonomi masyarakat.
"Kemasan plastik minuman ringan pasca konsumsi sudah memiliki rantai daur ulang yang mature (stabil). Jenis plastik PET adalah kemasan minuman ringan yang berkontribusi besar dalam daur ulang, mencapai 30% sampai 48% dari total penghasilan para pengumpul sampah," papar SWI.
Saat ini, semua air minum dalam kemasan (AMDK) bermerek dari market leader sampai produsen tingkat lokal menggunakan kemasan plastik jenis PET untuk kemasan botol air minum. Namun secara kuantitas, jumlah sampah plastik PET untuk industri daur ulang ternyata masih belum mencukupi di dalam negeri.
Direktur Jenderal Pengelolaan Limbah, Sampah, dan Bahan Beracun Berbahaya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Rosa Vivien Ratnawati mengungkapkan kondisi tersebut mengganggu komitmen KLHK untuk semakin gencarkan ekonomi sirkular dan mencapai target zero waste pada 2030.
Ia menyebutkan sepanjang 2022, KLHK menorehkan catatan sebanyak 64% timbulan sampah yang telah berhasil dikelola dari total 68,5 juta ton sampah nasional. KLHK pun berkomitmen untuk meningkatkan capaian tersebut demi mewujudkan zero waste pada 2030.
Hal tersebut dilakukan di antaranya dengan menggencarkan penerapan ekonomi sirkular dan mendorong sampah menjadi industrialisasi.
"Kuncinya adalah ekonomi sirkular yang terkait dengan bagaimana agar sampah tidak terbuang ke tempat pembuangan akhir," ucap Rosa.
"Ujungnya nanti menjadi zero waste dan zero emission," tambahnya.
Rosa menambahkan berdasarkan data yang dikeluarkan Ditjen PSLB3 KLHK, dari total 68,5 juta ton sampah nasional tercatat komposisi sampah yang paling dominan adalah sisa makanan, plastik dan kertas.
Data ini tak jauh berbeda dengan laporan pasca perayaan malam tahun baru 2023 di Jakarta yang mencatat sampah terbanyak didominasi botol air kemasan, wadah makanan, plastik, dan sampah kertas.
Rosa menjelaskan sampah botol plastik kemasan dan plastik memang sudah lama menjadi persoalan. Sebelumnya, KLHK melalui Permen LHK Nomor 75 Tahun 2019 mencetuskan Peta Jalan pengurangan sampah oleh produsen dengan menargetkan pengurangan sampah hingga sebesar 30% pada tahun 2030.
Target pengurangan tersebut dilakukan dengan mendorong produsen AMDK mengubah desain produk berbentuk mini menjadi lebih besar (size up) hingga ke ukuran 1 liter. Sehingga, mempermudah pengelolaan sampahnya.
Bersambung ke halaman selanjutnya. Langsung klik