-
Pembangunan Tol Cinere-Jagorawi (Cijago) masih berjalan. Saat ini, pembangunan tol dilakukan pada Seksi II dan III.
Tol Cijago terdiri 3 seksi, yakni Seksi I menghubungkan Jagorawi ke Raya Bogor, Seksi II Raya Bogor ke Kukusan, dan Seksi III dari Kukusan ke Cinere. Seksi I sudah beroperasi sejak tahun 2012.
Seksi II Tol Cijago sebenarnya masih hampir rampung, namun masih ada sejumlah lahan yang belum bebas. Lantas bagaimana dengan Seksi III? Berikut berita selengkapnya yang dirangkum
Dari pantauan
detikFinance kemarin, Tol Cijago Seksi II sebenarnya hampir rampung. Hal itu terlihat dari lajur tol yang sudah dibeton.
Namun, di wilayah Kukusan atau ujung daripada Seksi II dan menghubungkan ke Seksi III mengarah ke Cinere ada lahan yang belum bebas. Warga yang masih bertahan pun memasang spanduk dengan tulisan 'Tanah/Bangunan Belum Dibayar'.
Syamsuddin, salah seorang warga Kukusan mengatakan, warga enggan pindah karena menduga ada kejanggalan dalam proses pembebasan lahan.
"Karena banyak prosedur yang jalan nggak sesuai, bagaimana dapat hasil yang baik kalau prosedur nggak bener," kata Syamsuddin kepada detikFinance di kediamannya Jalan Ahmad Dahlan IV, Kelurahan Kukusan, Kecamatan Beji, Depok, Jumat (26/10/2018).
Kejanggalan tersebut, kata Koordinator Kukusan Berjuang ini ialah terkait konsinyasi atau penitipan biaya ganti rugi pembebasan lahan melalui pengadilan.
"BPN gitu kan, dia kan akibat kebijakannya kita dikonsinyasi, kan ada koordinasi. Memang yang mengajukan konsinyasi PPK, tapi kalau nggak persetujuan atau sounding BPN selaku P2T nggak mungkin," ujarnya.
Dia menerangkan, proses konsinyasi janggal karena menggunakan penilaian atau appraisal pada November 2015. Padahal, appraisal sendiri memiliki masa kadaluarsa 6 hingga 12 bulan.
"Appraisal berlangsung November 2015, masa berlaku 2016. Mereka konsinyasi di tahun 2017 sudah lewat kan. Konsinyasi mencoba menutupi fakta appraisal 2015," ujarnya.
Terjadinya konsinyasi juga janggal. Dia menerangkan, April 2017 warga diajak musyawarah untuk ganti rugi lahan. Bukan musyawarah yang terjadi, warga langsung ditawarkan nilai ganti rugi. Alhasil, mayoritas warga menolak tanda tangan penawaran tersebut.
"Sebagian besar menolak, mungkin 1-2 orang kepepet mau. Tapi yang jelas saat itu menolak tidak tandatangan kesepakatan. Tidak mau, warga hanya daftar hadir saja," ujarnya.
"Salah satu syarat diterima konsinyasi ada berita kesepakatan. Makanya warga bingung kok bisa ada konsinyasi karena tidak ada berita acara kesepakatan. Yang warga tandatangani daftar hadir. Makanya bingung kok bisa diterima pengadilan," tutupnya.
Syamsuddin mengatakan, dirinya bersama warga lain menolak pembebasan lahan karena ada prosedur yang mengganjal. Menurut Syamsuddin yang menolak sebanyak 19 warga yang berada di atas 25 bidang lahan seluas 1,2 hektare (ha).
"Waktu sosialisasi dulu jumlah bidang 228 bidang. Sekarang susut yang bertahan berjuang 25 bidang, luasan 1,2 ha, 12 ribuan meter," kata Syamsuddin kepada detikFinance di kediamannya, Depok, Jumat (26/10/2018).
Dia mengatakan, proses yang mengganjal itu di antaranya terkait dengan penilaian (appraisal) hingga konsinyasi. Terkait appraisal, kata dia, menggunakan perhitungan di 2015 dengan masa berlaku 6-12 bulan atau berakhir 2016.
Perhitungan yang telah berakhir itu masih ditawarkan ke warga saat musyawarah tahun lalu.
"Undangan musyawarah terakhir tanggal 26 April 2017, di Balai Kota Depok. Undangannya musyawarah bentuk, tapi yang terjadi warga disodorkan dengan anggaran 2015," ujarnya.
Penilaian ganti rugi itu menggunakan sistem bidang-bidang, di mana paling rendah Rp 6,9 juta per meter persegi dan paling tinggi Rp 24,5 juta per meter persegi. Tak lama setelah berselang, angka Rp 24,5 juta itu, kata dia dikoreksi menjadi Rp 8 juta per meter persegi.
Syamsuddin menambahkan sebenarnya warga mau pindah asal prosedur ganti rugi lahan dilakukan dengan benar.
"Kalau UGR, uang ganti kerugian, harga pasar plus premium. Itu harga transaksi terakhir lokasi itu. Kenapa di bawah harga pasar, kalau nilai transaksi di Juni 2015 pembebasan Rp 9,5 juta, belum ada premiumnya," tutupnya.
Berdasarkan pantauan detikFinance, Jumat siang (26/10/2018) di proyek tol Cijago seksi III belum tampak pekerjaan konstruksi. Jika dilihat dari arah Kukusan nampak sedikit lahan galian.
Setelah galian tersebut, hanya tampak pohon-pohon dan seterusnya berupa pemukiman warga. Para pekerja juga tak tampak terlihat melanjutkan pekerjaan di Seksi III. Alat-alat berat yang biasa digunakan untuk membangun tol juga tak terlihat.
Corporate Secretary PT Jasa Marga (Persero) Tbk Agus Setiawan mengatakan, Tol Cijago diusahakan oleh PT Translingkar Kita Jaya. Dia mengatakan, Jasa Marga hanya pemilik saham minoritas sehingga kebijakan tol diserahkan ke PT Transindo Karya Investindo, Grup Kompas Gramedia selaku pemegang saham mayoritas.
"JM (Jasa Marga) minoritas, kebijakan di pemegang saham mayoritas, Grup Kompas Gramedia," ujarnya ketika ditanya progres tol kepada detikFinance, Jumat (26/10/2018.
Sementara, untuk Seksi II masih ada lahan yang belum bebas sebanyak 25 bidang atau sekitar 1,2 ha. Lahan itu dimiliki 19 warga.
PT Hutama Karya (Persero) menyatakan hanya menjadi kontraktor di Seksi II tersebut. Terkait penyelesaian tol, Hutama Karya bergantung pada proses penyelesaian lahan.
"Iya, kita nggak tahu pembebasan kapan cuma masih ada proses, kalau selesai itu rampung segera," kata Sekretaris Perusahaan Hutama Karya M Fauzan.