Namun belakangan terungkap ternyata hitungan bengkak proyek dari BPKP belum disetujui pihak China. Malah, ternyata China punya perhitungan bengkak biaya tersendiri yang totalnya berbeda dengan hitungan pihak Indonesia lewat BPKP. Bahkan, jumlah hitungan bengkak proyek versi China lebih kecil jumlahnya daripada yang dihitung BPKP.
Sampai awal Desember ini pun, belum juga terjadi kesepakatan antara China dan Indonesia soal berapa sebetulnya angka bengkak proyek kereta cepat yang harus dibiayai.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sama China negosiasi cost overrun itu memang belum selesai betul, sedang proses nego," ujar Direktur Utama PT KCIC Dwiyana Slamet Riyadi ketika ditemui wartawan di Gedung DPR RI, Jakarta Pusat, Kamis (8/12/2022).
Hitungan China sangat jauh lebih kecil jumlahnya, bahkan menyentuh US$ 1 miliar pun tidak. Pada November lalu, Dwiyana pernah mengungkapkan hitungan bengkak proyek kereta cepat oleh pihak China cuma US$ 980 juta atau Rp 15,2 triliun.
"Mereka sudah sampaikan hasil perhitungan mereka sekitar US$ 980 juta (Rp 15,2 triliun). Ada perbedaan karena beda cara melakukan review, beda metode dan beda asumsi," katanya di Gedung DPR RI, Rabu (9/11/2022) yang lalu.
Lalu kenapa beda hitungan bisa terjadi? Dwiyana menjelaskan pihak China tidak mengakui beberapa aspek perhitungan bengkak biaya proyek yang dihitung di Indonesia. Perhitungan cost overrun versi pemerintah Indonesia dinilai terlalu tinggi daripada perhitungan oleh pihak China.
Beberapa aspek yang tidak mau dihitung China misalnya pajak pengadaan lahan, ada juga investasi persinyalan dan kelistrikan di pembangunan kereta cepat.
"Kenapa China cenderung lebih kecil hitungan cost overrun-nya? Karena pemerintah China belum mengakui ada pajak pengadaan lahan, investasi persinyalan GSMR, kelistrikan, karena di sana free. Ada beberapa kondisi yang di China itu berbeda dengan Indonesia," ungkap Dwiyana.
Di sisi lain, Kartika Wirjoatmodjo sebelumnya juga sudah menyatakan cost overrun akan dibiayai dengan cara menyetor ekuitas tambahan dan juga menambah pinjaman ke pihak China Development Bank (CDB).
Persentasenya, jumlah bengkak itu sebanyak 25% akan dibiayai dengan tambahan modal lewat KCIC, sementara sisanya akan dilakukan dengan pinjaman oleh CDB. Artinya, pihak Indonesia harus menyetor modal tambahan ke KCIC yang diisi gabungan kongsi perusahaan pelat merah Indonesia dan juga perusahaan China.
Nah pemerintah berniat untuk membantu gabungan perusahaan BUMN di KCIC dengan menyuntik modal tambahan dengan skema penyertaan modal negara (PMN) lewat PT KAI sebesar Rp 3,2 triliun. Perusahaan kereta api itu ditunjuk untuk memimpin gabungan perusahaan Indonesia di dalam KCIC.
Dalam struktur saham kepemilikan KCIC, porsi gabungan BUMN Indonesia sendiri mencapai 60%, 40% sisanya adalah kepemilikan konsorsium China. Jadi, dari 25% biaya bengkak kereta cepat yang nantinya disetujui, Indonesia harus menambah modal sebesar 60% dari jumlah tersebut.
Menurut Kartika untuk pinjaman memang tak ada jalan lain selain meminta dari pihak CDB. Tiko bilang hal itu bisa memberikan keuntungan berupa pinjaman murah dan tenor yang lebih panjang.
"Dengan CDB kami minta tenor panjang setidaknya 30 tahun jadi tak bebani KAI dan KCIC. Alasan kami minta CDB karena tenor panjang dan bunganya murah," ujar Kartika.
Di sisi lain, Dwiyana sendiri yakin perdebatan soal negosiasi bengkak kereta cepat bisa selesai akhir tahun ini. Sejalan dengan itu, suntikan modal negara untuk membiayai bengkak proyek itu pun rencananya bisa langsung terealisasi.
"Ya kan targetnya memang akhir tahun. Paralel dengan pencairan PMN untuk cost overrun Rp 3,2 triliun," ungkap Dwiyana.
Progres terkini proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung di halaman berikutnya. Langsung klik