BI Pantau Referendum Italia dan Pengaruhnya ke Ekonomi RI

BI Pantau Referendum Italia dan Pengaruhnya ke Ekonomi RI

Fadhly Fauzi Rachman - detikFinance
Sabtu, 03 Des 2016 18:23 WIB
Foto: Fadhly Fauzi Rachman
Kuta - Kondisi perekonomian global yang cukup bergejolak pasca terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) juga berdampak pada kondisi perekonomian Indonesia. Namun demikian, Indonesia dinilai cukup optimistis jika dilihat dari sisi fundamentalnya yang jauh lebih baik dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia (BI), Juda Agung, menjelaskan pasca pemiliha presiden di AS, kondisi pasar keuangan sedikit mengalami tekanan terutama di capital outflow dan dampaknya terhadap RI. Namun, pasar keuangan Indonesia dinilai masih tetap optimistis.

"Ketika Taper Tantrum defisit (CAD) 4%, inflasi di atas 8%, tapi sekarang ini jauh lebih bagus dari sisi fundamental. Prospek pertumbuhan ekonomi juga not too bad. Memang tidak terlalu kuat tapi consistently membaik," kata Juda di Hardrock Hotel, Bali, Sabtu (3/12/2016).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Di kuartal III dan IV ketika fiskal kontraksi, kita masih bisa tumbuh di atas 5%. Bandingkan pada tahun 2015 ketika fiskal masih ekspansi di kuartal III dan IV pertumbuhan ekonominya di bawah 5%. 4,7%-4,68% itu titik terendah di 2015," sambungnya.

Ia menambahkan, pasar keuangan pun melihat Indonesia sangat optimistis. Walaupun sempat ada sedikit tekanan pasca terpilihnya Donald Trump pada Pemilu Presiden Amerika Serikat.

"Kita juga jauh lebih baik dibandingkan Malaysia, mereka cadangan devisanya di bawah US$ 100 miliar Market melihat kita masih tidak melakukan sesuatu yang against market seperti Malaysia melakukan pembatasan," tuturnya.

Jika dilihat secara umum, kata Juda, kondisi saat ini lebih baik dibandingkan tahun 2013. Dirinya percaya dengan mekanisme pasar valas yang telah menunjukan kondisi pasar sudah lebih baik. Padahal sempat ada pelemahan akibat adanya investor asing yang keluar, namun valas tetap bertambah dari sisi domestik.

"Likuiditas valas di market kita juga lebih baik dibanding 2013. Tahun ini meski rupiah melemah dan asing keluar, domestik justru mensuplai pasar jadi dia men-set off bahkan lebih besar November-Desember ketika non residence, ketika asing melepas kepemilikannnya di pasar domestik, justru domestik menambah valas sehingga Oktober-November ketika terjadi reserve valas kita over supply," terangnya.

Sedangkan untuk pertumbuhan ekonomi global, Juda mengatakan, pihaknya memperkirakan bakal berada di level 3,2% di tahun 2017. Proyeksi tersebut dilihat dari pertumbuhan ekonomi China yang berangsur membaik.

"Kalau kita lihat global outlook untuk 2017 lebih baik. Pertumbuhan ekonomi bisa 3,2%, dan itu lebih baik dibandingkan tahun ini sebesar 3%," kata dia.

"Ini sebuah perkembangan positif, Tiongkok ternyata jauh lebih baik dari yang kita perkirakan, India juga. Jadi 2017 ini ke arah 3,2% itu cukup justified," ujarnya menambahkan.

Juda mengakui ada sejumlah risiko dan tantangan yang bisa menghambat laju pertumbuhan ekonomi global. Terutama, terkait terpilihya Presiden AS Donald Trump, yang masih memiliki ketidakpastian mengenai arah kebijakannya.

"Meski begitu, lambat laun ternyata kebijakannya tidak se-ekstrem seperti yang dikampanyekan. Misalnya mengenai fiskal, perdagangan, dan sebagainya. Masih ada tone-tone yang nasionalismenya, kelihatan. Tetapi tidak seekstrem ketika kampanye. Pemilu di Italia juga salah satu risiko lain yang kami amati di tahun depan," terangnya. (ang/ang)

Hide Ads