Mengenal Rupiah dari Sejarahnya

Mengenal Rupiah dari Sejarahnya

Sylke Febrina Laucereno - detikFinance
Minggu, 19 Agu 2018 09:49 WIB
Mengenal Rupiah dari Sejarahnya
Jakarta - Uang, uang, uang. Sebuah alat pembayaran yang terus berevolusi dari waktu ke waktu. Pada awalnya, manusia di bumi berusaha untuk memenuhi kebutuhannya masing-masing dari alam semesta.

Namun seiring bertambahnya jumlah manusia, kelompok lebih banyak, kebutuhan lebih besar. Komunikasi terus terjadi dan manusia saling memenuhi kebutuhan dengan cara barter, atau pertukaran benda. Nah inilah yang menjadi cikal bakal uang di dunia.

Tapi kali ini, detikFinance akan membahas sejarah uang di Indonesia. Tim redaksi akan menceritakan ketika uang di masa kejayaan kerajaan Hindu Budha, uang penjajah hingga akhirnya menjadi Rupiah yang sangat dibanggakan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT



Pada abad ke 9 di masa Kerajaan Mataram, mata uang tertua di Nusantara diciptakan. Krisnala namanya, saat itu Mataram sudah mengalami kemajuan, kerajaan ini mulai membuat uang dari bahan baku yang baik dan bisa bertahan lama karena terbuat dari logam seperti emas dan perak.

Setelah Mataram, Majapahit juga memiliki mata uang yang diberi nama Gobog, sebuah koin yang terbuat dari tembaga. Dari catatan Museum Bank Indonesia (BI) uang ini diperkirakan beredar pada abad ke 14 hingga abad ke 16. Tak hanya sebagai uang, koin-koin tersebut juga masih digunakan sebagai benda keramat.

Uang-uang dari logam ini sangat dibutuhkan, karena sistem perdagangan di Nusantara berkembang sangat pesat. Koin ini dinilai mampu untuk mengganti sistem barter atau uang-uang yang terbuat dari kulit kerang, manik-manik atau belincung.
Memasuki abad ke 15 saat kerajaan islam berkembang di Nusantara, berbagai mata uang sebagai alat pembayaran beredar. Mengikuti kerajaan, uang-uang yang diedarkan bertuliskan aksara Arab. Niaga atau perdagangan di Nusantara saat itu sangat gencar, uang-uang yang ada bahkan bisa ditukar dengan mata uang asing. Ya, karena memang perdagangan sangat luas. Contohnya satu Real Spanyol bisa ditukar dengan 16 mas atau dirham.

Waktu terus berganti, kongsi dagang Belanda yang dikenal dengan nama VOC masuk ke Indonesia. Mereka menguasai perdagangan di Nusantara. Karena luas dan pesatnya perdagangan, VOC berupaya keras untuk mengganti seluruh mata uang yang beredar.

VOC mulai mencetak uang-uang logam dan kertas untuk alat pembayaran standar di Nusantara. Selain itu Belanda juga menciptakan Duit, ya Duit atau yang selama ini sering kita sebut adalah uang tembaga recehan yang diciptakan Belanda pada abad 17 di Nusantara.

Raja Willem I pada 1825 mengusulkan pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan sebuah bank di Pulau Jawa dan lahirlah De Javasche Bank di Batavia (kini kawasan Kota Tua). Belanda makin berjaya, karena peredaran Gulden atau uang mereka semakin luas. Namun, karena terbatasnya percetakan, sebagian uang yang beredar di Hindia Belanda paling banyak uang logam yang diterbitkan VOC.

Setelah Belanda, Jepang masuk ke Indonesia. Seakan tak mau kalah, Jepang melalui Pemerintah Dai Nippon menerbitkan dan mengedarkan uang kertas di Indonesia.

Awal kemerdekaan bukanlah hal yang mudah Indonesia. Sebagai negara baru, kondisi moneter negara ini sangat buruk. Saat itu diperkirakan ada sekitar empat milyar lembar uang Jepang yang beredar di Indonesia. Sebanyak 1,6 milyar berada di Pulau Jawa.

Peredaran uang NICA semakin gencar di kota besar di Indonesia pada 1945. NICA dengan bantuan sekutu mulai mengedarkan uang Jepang di bank-bank yang ada di Indonesia. NICA menggunakan uang tersebut untuk membiayai operasi militer dan membayar gaji pegawai pribumi. Akibat 'serangan' ini kondisi keuangan Indonesia semakin parah.

Pada 2 Oktober 1945 pemerintah Indonesia menyatakan jika mata uang NICA tidak berlaku di wilayah RI. Namun akibat keterbatasan dana dan tenaga ahli untuk mencetak uang sendiri. Sehari kemudian yakni 3 Oktober 1945 pemerintah kembali mengeluarkan maklumat jika mata uang yang beredar sampai dengan masa pendudukan jepang diakui sebagai alat pembayaran yang sah.

Satu tahun setelah kemerdekaan 30 Oktober 1946, akhirnya pemerintah mulai menerbitkan Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) sebagai alat pembayaran yang sah di Indonesia. Lebih dari itu, ORI juga menjadi keabsahan pemerintahan Indonesia, karena ORI sebagai atribut suatu negara merdeka, berdaulat dan pemersatu bangsa.

Peredaran ORI disambut baik oleh masyarakat Indonesia. Enam hari setelah pengumuman tentang ORI sebuah suratkabar "Rakyat" memuat berita yang berjudul "Uang kita menang, kata rakyat Jakarta" Dalam berita tersebut ditulis jika seorang tukang becak lebih suka dibayar dengan ORI pecahan 20 sen dibanding menerima bayaran satu gulden uang NICA.

Saat awal peredaran, masing-masing penduduk mendapatkan satu agar jumlah uang jepang yang masih digunakan bisa hilang dengan sendirinya. Para pelajar menjadi agen untuk pengedaran uang ini.

Namun pengedaran ORI tak semudah pengumumannya. Meskipun Indonesia sudah merdeka, situasi keamanan masih tidak menentu. ORI kala itu diedarkan secara sembunyi-sembunyi. Namun peredaran ORI ini mampu membangkitkan rasa solidaritas nasionalisme rakyat Indonesia.

Kurir ORI selalu siap untuk mengirimkan ke seluruh penjuru Indonesia. Banyak yang dilakukan seperti menyimpan ORI di keranjang rumput ternak, menyembunyikan di boncengan sepeda, di bakul sayur. Namun tak jarang, masyarakat Indonesia pengedar ORI yang tertangkap NICA harus merasakan siksaan yang menyebabkan mereka kehilangan nyawa.

Pengedaran ORI yang dilakukan secara gerilya membuat pasokan ORI di daerah tersendat. Selain itu sulitnya komunikasi antar pusat dan daerah setelah serangan milter Belanda membuat ORI langka di daerah. Karena itu, pemerintah mengizinkan daerah yang tak terjangkau ORI untuk menerbitkan uang sendiri yang hanya berlaku di daerahnya. Uang inilah yang disebut ORIDA atau oeang republik Indonesia Daerah.

Banten adalah wilayah pertama yang menerbitkan ORIDA. Emisi pertama ORIDA Banten terbit pada 12 Desember 1947 sesuai instruksi pemerintah pusat RI kepada Residen Banten Kyai Haji Achmad Chatib.

Tiga tahun berselang tepatnya pada 1950, konferensi meja Bundar pada 1949 menyepakati pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS). Karena adanya pemerintahan ini, ORI dan ORIDA ditarik dari peredaran dan mengganti uang RIS sebagai alat pembayaran yang sah di Indonesia.

Pada 1953 BI akhirnya memiliki kewenangan untuk menerbitkan dan mengedarkan uang pecahan lima rupiah ke atas. Sedangkan untuk uang kertas pecahan di bawah lima rupiah dan uang logam masih kewenangan pemerintah. Namun pada 1968 sesuai dengan terbitnya Undang-undang Bank sentral, BI menjadi satu-satunya lembaga yang memiliki hak tunggal untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang kertas dan logam.

Kewenangan ini juga tercantum dalam undang-undang no 23/1999 tentang Bank Indonesia yang diamandemen dengan Undang-undang Nomor 3/2004, 15 Januari 2004. Aturan-aturan inilah yang dipegang sampai saat ini. Terakhir BI menerbitkan uang desain baru tahun emisi 2016, uang yang diterbitkan mulai dari pecahan Rp 1000 hingga Rp 100.000 untuk uang kertas dan pecahan Rp 100 sampai Rp 1000.

Museum Bank Indonesia
Museum ini terletak di kawasan Kota Tua Jakarta. Museum ini menempati gedung yang dulunya adalah De Javasche Bank. Untuk masuk dan menikmati koleksi anda bisa membayar sebesar Rp 5.000 untuk satu kali masuk. Museum BI juga menyediakan tiket terusan untuk menonton tayangan immersive yakni film yang ditampilkan menggunakan teknologi empat dimensi. Dalam film akan dijelaskan sejarah Bank Indonesia.

Di sini anda bisa menemukan sejarah terkait perekonomian Indonesia. Mulai dari masa kejayaan hingga masa krisis moneter yang terjadi di Indonesia.

Museum Reksa Artha
Terletak di Lebak Bulus, Museum ini merupakan milik Perum Percetakan Uang Republik Indonesia (Peruri). Di sini, kita bisa melihat berbagai macam mesin pencetak uang yang di gunakan pada era 1950 hingga 1960an.

Museum ini memang tak seatraktif dan warna-warni seperti museum BI. Namun, mesin-mesin pencetak uang tersebut merupakan saksi bisu sejarah perjuangan rakyat Indonesia untuk merdeka.

Hide Ads