"OJK tidak pernah mengatur tingkat bunga, tapi POJK 77 jelas memberi arahan tingkat bunga. Tingkat bunga pinjaman disesuaikan kondisi perekonomian yang berlaku. Kondisi perekonomian berlaku seperti tingkat bunga rata-rata yang berlaku," katanya.
Dia menjelaskan kondisi perekonomian yang berlaku tercermin dari pasar. Misalnya, ada orang yang memberikan pinjam sebesar 20%, maka orang lain akan memberikan bunga yang tak jauh dari angka tersebut.
Menurutnya pengaturan bunga justru berisiko. Dia mencontohkan, seorang pengusaha memiliki penghasilan besar, kemudian dia membutuhkan pinjaman dengan cepat untuk mengembangkan usahanya. Tapi karena bunga dipatok, pemberi pinjaman tidak mau mengeluarkan uangnya sehingga yang terjadi bisnis pengusaha tadi terganggu.
"Justru ini mematikan, (contoh) tingkat bunga 15% maksimum per tahun, padahal ada orang di sini sektor ritel keuntungan ketika jualan keuntungan 100%, tapi karena meminjam kemari saya hanya mau 15%, saya tidak mau beri pinjaman. Jadi hati-hati melihatnya, justru orang yang meminjam tidak memperoleh akses pendanaan karena tidak ada yang meminjamkan," jelasnya.
Selain itu, dia mengatakan, penyelenggara P2P sebenarnya telah membuat kesepakatan agar bunga dan denda maksimal tidak boleh melebihi pokok pinjaman. Sehingga, peminjam dana mendapat keringanan.
"Dari penyelenggara fintech P2P itu membuat kesepakatan setelah melalui diskusi asosiasi kami memberi pinjaman dan tingkat bunga plus dendanya tidak boleh melebihi nilai pokok. Kalau misalnya meminjamkan Rp 1 juta, berapapun bunganya kalau sampai macet mau 10-20 tahun dia maksimum hanya boleh bayar Rp 2 juta," ujarnya.
Dia bilang, dalam pemberian bunga sebenarnya mengacu 3 hal yaitu tenor, nilai pinjaman, dan kecepatan pencairan.
"Yang perlu dipahami tingkat bunga pinjaman selalu ada hubungannya dengan tenor, nilai nominal dan seberapa cepat dapat pinjaman," tutupnya. (zlf/zlf)