BI Rate Ditahan Meski The Fed Naikkan Bunga Acuan

BI Rate Ditahan Meski The Fed Naikkan Bunga Acuan

Sylke Febrina Laucereno - detikFinance
Jumat, 21 Des 2018 09:56 WIB
4.

BI Sudah Diprediksi Tahan Bunga Acuan

BI Rate Ditahan Meski The Fed Naikkan Bunga Acuan
Foto: Sylke Febrina Laucereno/detikFinance
Ekonom INDEF Bhima Yudhistira Adhinegara memperkirakan BI menahan bunga acuan di level 6%. Hal ini karena BI sudah melakukan langkah pre emptive dengan menaikkan bunga sebelum Fed Rate naik

"Jadi pelaku pasar pun sudah price in soal kenaikan Fed. Sinyal Fed yang dovish di 2019 dimana kenaikan bunga hanya dua kali membuat rupiah tetap dalam posisi menguat. BI dirasa belum perlu naikkan bunga," kata Bhima saat dihubungi detikFinance, Kamis (20/12/2018).

Dia mengungkapkan, BI lebih baik menggunakan cadangan devisa untuk stabilisasi kurs jangka pendek. Lagi pula posisi cadangan devisa naik menjadi US$ 117 miliar pada November.

Menurut dia suku bunga yang terlalu tinggi beresiko menghambat laju perekonomian karena naiknya cost of borrowing pelaku usaha. Risiko untuk agresif naikkan suku bunga bisa blunder ke ekonomi.

Oleh karena itu, bank sentral bisa konsisten melakukan intervensi dengan cadangan devisa apabila rupiah dirasa terlalu fluktuatif.

"Tapi yang paling penting adalah menurunkan current account deficit (CAD) secara konsisten karena dalam jangka menengah panjang CAD yang melebar membuat rupiah mengalami pelemahan," ujarnya.

Bhima menambahkan cara menekan CAD adalah dengan mengurangi impor migas lewat kenaikan produksi minyak dan perbaiki implementasi B20. Untuk impor bahan baku dan barang modal pemerintah perlu mengevaluasi lagi proyek infrastruktur non prioritas khususnya yang impor bahan bakunya tinggi.

Ekonom LPEM FEB UI Febrio Kacaribu mengungkapkan BI tidak perlu menaikkan suku bunga kebijakannya bulan ini. Hal ini karena angka inflasi yang rendah karena harga komoditas dan harga bahan bakar subsidi.

Namun defisit transaksi berjalan pada kuartal IV-2018 secara keseluruhan diprediksi melebar di atas 3% dari PDB akibat tingginya defisit neraca perdagangan. "Ada juga yang perlu diperhatikan seperti harga minyak mentah yang merupakan indikator penting. Menurunnya harga minyak mentah membantu defisit transaksi berjalan dan rupiah lebih baik," imbuh dia. (kil/ara)

Hide Ads