Menurut Herman, kasus ini merupakan warisan krisis ekonomi pada tahun 1998 yang lalu. Saat itu semua industri keuangan memang terkena dampak, tak terkecuali Jiwasraya.
"Perlu dicatat bahwa seluruh industri keuangan pada resesi 98 saat krisis itu seluruh industri keuangannya kena dampak. Termasuk Asuransi Jiwasraya," ungkap Herman.
Bahkan, hingga 2005 pun Jiwasraya masih juga belum sembuh. Terbukti dari audit uji petik BPK yang dilakukan pada laporan keuangan perusahaan pada tahun 2004 dan 2005. BPK menurut Khaeron memberikan disclaimer alias predikat tidak memberikan pendapat, yang merupakan predikat terburuk dari BPK pada sebuah laporan keuangan.
"Kenapa kemudian diuji petik 2006? Karena lahir UU BPK di 2006 dan memungkinkan BPK bisa dialami seluruh segmen APBN dan APBD yang basisnya keuangan negara. 2006 itu kemudian dibuatkan atau dilakukan investigasi oleh BPK untuk audit 2004-2005. Jangan salah tafsir, hasilnya disclaimer," kata Herman.
Herman menyimpulkan bahwa dengan predikat seburuk itu, Jiwasraya belum bisa berikan perbaikan signifikan pada asuransi Jiwasraya.
"Artinya, dampak yang ditimbulkan krisis ekonomi 98, Jiwasraya belum bisa berikan perbaikan signifikan kepada asuransi Jiwasraya pada tahun 2004-2005," ungkap Herman.
Kemudian, Herman menyebut Jiwasraya sempat kembali untung. Hal ini terbukti pada audit di tahun 2011 dan 2012, saat itu Jiwasraya disebut untung. Bahkan menerbitkan JS Saving Plan 2014.
"Kemudian diuji petik lagi 2011 oleh BPK. Perjalanan ini tercatat baik. Sampai 2010 Jiwasarya telah lakukan perbaikan 2011 untung, 2012 untung. 2013 ada gagasan baru program JS Saving Plan bentuknya bank insurance, dan dikapitalisasi 2014," kata Herman.
Simak Video "Video: Kejagung Ungkap Cara Jiwasraya Manipulasi Kerugian"
[Gambas:Video 20detik]
(ang/ang)