Berikut poin-poin rekomendasi dari Badan Anggaran DPR:
1. Melakukan kebijakan quantitative easing lebih lanjut agar Bank Indonesia membeli SBN/SBSN repo yang dimiliki perbankan dengan bunga 2 persen, khususnya perbankan dalam negeri agar memiliki kecukupan likuiditas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
2. Bank Indonesia memberikan pinjaman likuiditas jangka pendek kepada perbankan untuk mempertebal likuiditasnya, agar kemampuan perbankan sebagai transmisi keuangan tetap optimal dan sehat.
3. Bank Indonesia mencetak uang dengan jumlah Rp 400-600 triliun sebagai penopang dan opsi pembiayaan yang dibutuhkan oleh pemerintah. Mengingat, dalam situasi global yang ekonominya slowing down, tidak mudah mencari sumber sumber pembiayaan, meskipun dengan menerbitkan global bond dengan bunga besar. Bank Indonesia dapat menawarkan yield sebesar 2-2,5 persen, sedikit lebih rendah dari global bond yang dijual oleh pemerintah.
4. Kebijakan mencetak uang sebagaimana yang dimaksud pada poin 3 diatas harus memperhitungkan biaya operasi moneter Bank Indonesia. Sehingga biaya tersebut tidak boleh dibebankan kepada Pemerintah. Oleh sebab itu, besaran yieldnya tidak boleh lebih rendah dari biaya operasi moneter Bank Indonesia, agar tidak menimbulkan kerugian bagi Bank Indonesia, serta tidak menyebabkan modal Bank Indonesia lebih rendah 10 persen dari kewajiban moneternya.
5. Kebijakan mencetak uang sebagaimana yang dimaksud pada poin 3 diatas harus memperhitungkan dampak inflasi yang ditimbulkan, sekaligus tekanan kurs terhadap rupiah.
Lalu apa kata Bank Indonesia?
Menanggapi hal tersebut, Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan pencetakan uang artinya bank sentral menambah uang beredar. Jika tidak mampu akibat kelebihan likuiditas, maka likuiditas tersebut tidak bisa diserap kembali.
"Seperti dulu waktu BLBI kan bank sentral mengedarkan uang. Sebagai gantinya dikasih surat utang pemerintah yang tidak tradeable dengan suku bunga mendekati nol persen. Waktu inflasi naik, bank sentral tidak menggunakan SOP ini," kata Perry dalam RDP virtual dengan komisi XI DPR RI, Kamis (30/4/2020).
Dia mengungkapkan, pada periode 1998 angka inflasi mencapai 67% akibat pencetakan uang. Hal ini berbeda dengan operasi moneter dan penambahan likuiditas di perbankan.
"Nah penambahan likuiditas yang BI lakukan sekarang Rp 503,8 triliun disebut quantitative easing (QE). Semoga ini menjelaskan hal yang kompleks dan berbeda antara pencetakan uang dengan QE," imbuh dia.