Yusuf menjelaskan, pencetakan uang sama dengan menebar likuiditas. Jika penambahan likuiditas melebihi pengadaan barang maka akan mendorong inflasi lebih cepat.
"Secara teoritis, jika pencetakan uang berujung peredaran uang yang lebih cepat dibandingkan pengadaan barang, bisa mendorong terhadap inflasi," terangnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebenarnya Indonesia pernah melakukan cetak uang pada periode 1957-1965. Saat itu Indonesia sedang membutuhkan dana besar untuk berbagai kebutuhan seperti pos prioritas politik yang digunakan untuk operasi keamanan, subsidi BUMN dan swasta. Dampaknya terjadi hiperinflasi.
"Bahkan pada menilik pada sejarah Indonesia di medio tahun 1960-an kebijakan mencetak uang dan juga kondisi politik pada saat itu yang tidak stabil bermuara pada hiperinflasi, atau tingkat inflasi yang berada di atas 100%," ucapnya.
Yusuf menjelaskan hiperinflasi merupakan laju inflasi yang sangat tinggi. Biasanya di kisaran 100% bahkan lebih. Itu artinya kenaikan harga barang rata-rata bisa mencapai 100% lebih.
"Sebagai ilustrasi pada tahun 1966, terjadi kenaikan harga hingga 635%, dengan kenaikan ini, misal harga barang pokok Rp 100 rupiah kenaikan inflasi di atas meningkatkan harga hingga menjadi Rp 735," terangnya.
Dia memberikan contoh sederhana lainnya, Zimbabwe pernah mencetak uang dan dampaknya terjadi hiperinflasi. Hal itu menyebabkan harga sosis meningkat menjadi 30 juta dolar Zimbabwe dari sebelumnya hanya mencapai 379 dolar Zimbabwe.
Meski begitu, kondisi ekonomi RI saat itu dengan sekarang ini tentu berbeda. Bisa saja pencetakan uang dengan level tertentu tidak memberikan dampak besar terhadap inflasi.
"Beberapa penelitian justru menunjukkan hubungan negatif antara pencetakan uang dan inflasi di masa sekarang. Sehingga, pencetakan uang di level tertentu tidak akan mengerek inflasi terlalu besar di masa sekarang," ucapnya.
Simak Video "Video: Tampang Penipu yang Ngaku Bisa Gandakan Uang di Cilacap"
[Gambas:Video 20detik]
(das/ara)