Meminjam uang melalui fintech peer-to-peer (P2P) lending sangatlah mudah. Banyak masyarakat Indonesia yang sudah terbiasa meminjam uang dari fintech tersebut, tanpa memahami risiko, dan tidak menyadari batas kemampuannya.
Bahkan, Anggota Dewan Komisioner Bidang Perlindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Tirta Segara mengaku pernah menemui seseorang yang nekat meminjam uang dari 40 fintech dalam 1 minggu. Meski tak disebutkan jumlah nominalnya, Tirta mengatakan tindakan itu sudah melebihi batas kemampuan orang tersebut untuk nanti membayarnya kembali.
"Bahkan kami menemukan beberapa kasus, seorang konsumen meminjam lebih dari 40 fintech dalam 1 minggu, ini kurang bijak, dan ini di luar kemampuannya," ungkap Tirta dalam webinar Infobank, Selasa (13/4/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia mengatakan, banyak masyarakat yang mengadu ke OJK karena mengalami kerugian setelah meminjam uang dari fintech. Namun ternyata, penyebabnya itu tak semata-mata dari ketentuan yang dibuat fintech tersebut, tapi juga dari masyarakat sendiri yang meminjam uang di luar batas kemampuannya.
"Banyak kasus pengaduan terhadap fintech ilegal yang berujung bahwa mereka minta dibantu dicarikan jalan keluarnya kepada OJK karena tidak mampu membayar utangnya. Tapi setelah kami telusuri lebih dalam, ternyata mereka juga meminjam lebih dari 10 fintech sekaligus," urainya.
"Jadi kami juga menyimpulkan bahwa ada perilaku kurang bijak dari masyarakat di dalam melakukan transaksi. Ini baik investasi maupun mencari pembiayaan," sambung Tirta.
Lanjut halaman berikutnya soal fintech.
Simak juga 'Demam Investasi saat Pandemi, Ada yang Untung dan Merugi':
Begitu juga dengan aduan investasi ilegal dari masyarakat. Selain aksi perusahaan investasi ilegal yang memberikan iming-iming imbal hasil tak wajar, namun menurut Tirta tak sedikit masyarakat yang menjadi korban investasi ilegal karena perilakunya sendiri.
"Ada yang ingin cepat kaya atau mendapatkan keuntungan besar tapi tidak melalui kerja keras. Dari hasil temuan kami, bukan hanya masyarakat yang tingkat pendidikannya rendah yang menjadi korban investasi ilegal. Tetapi bahkan banyak dari mereka yang sangat literate, dengan gelar sarjana atau S2, atau mungkin lebih tinggi dari itu yang juga menjadi korban investasi ilegal," tutur dia.
Meski begitu, pihaknya mengatakan aktivitas penghentian investasi dan fintech ilegal terus dilakukan. Persoalannya, kemajuan teknologi saat ini memudahkan para perusahaan investasi dan fintech ilegal tersebut muncul kembali.
"Dengan kemajuan teknologi, pembuatan replikasi situs penipuan dengan ilustrasi yang sangat menarik, bahkan menampilkan tokoh-tokoh yang sangat populer atau influencer, ini menjadi mudah dan murah dengan teknologi," pungkasnya.
(vdl/fdl)