Suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) saat ini memang ada di level terendah yaitu 3,5%. Bank sentral sudah menahan bunga acuan ini sejak 11 bulan yang lalu.
Dari data uang beredar BI memang disebutkan jika suku bunga kredit pada Desember 2021 secara rata-rata tertimbang tercatat 9,16% turun 9 basis poin dibandingkan bulan sebelumnya. Lalu suku bunga simpanan berjangka juga mengalami penurunan pada hampir seluruh jenis tenor.
Walaupun BI menahan bunga acuan di level terendah, pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulanan tanggal 19-20 Januari 2022 menempuh kebijakan untuk menaikan giro wajib minimum (GWM) secara bertahap.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sekadar informasi, GWM ini adalah dana atau simpanan minimum yang harus disimpan oleh bank dalam bentuk saldo rekening giro yang ditempatkan di BI.
Baca juga: Gara-gara Hal Ini, Harga Emas Dunia Amblas |
Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah mengungkapkan dengan dinaikannya GWM ini maka dana yang tersedia di perbankan akan berkurang karena harus disetorkan ke BI. Hal ini akan menurunkan likuiditas. Dengan mengetatnya likuiditas ini maka bisa mendorong naiknya suku bunga di perbankan.
"Karena suku bunga itu adalah harga likuiditas. Ketika GWM diperketat dan dinaikan ya mau nggak mau akan mendorong persaingan atau perebutan dana pihak ketiga (DPK), maka suku bunga deposito dan tabungan akan naik, ini juga akan mempengaruhi bunga kredit yang akan naik," jelas dia.
Piter menjelaskan selama ini memang transmisi kebijakan lebih cepat direspon oleh kenaikan suku bunga. Sangat jarang penurunan bunga kredit bisa lebih cepat.
"Saya sudah bilang beberapa kali, kalau suku bunga itu jangan diharapkan turun lagi, sebenarnya ya tinggal tunggu naik saja. Karena bunga itu akan lebih cepat naik daripada turun. GWM itu bisa bikin bunga deposito dan bunga kredit naik karena bank akan melebarkan marginnya dulu," jelas dia.
Lanjut halaman berikutnya.
Piter menilai langkah BI untuk menaikan GWM ini merupakan pilihan untuk mendukung perekonomian nasional. GWM akan berdampak lebih ringan jika dibandingkan dengan naiknya bunga acuan.
Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiaatmadja mengungkapkan di Indonesia secara fundamental suku bunga dan inflasi masih terkendali. Menurut Jahja kondisi likuiditas juga masih sangat terkendali dan kurs masih bisa dikendalikan pada range Rp 14.100 sampai Rp 14.400. "Kebijakan BI untuk mempertahankan itu tidak serta merta kalau di AS naik ikut naik, tapi masih ada untuk mempertahankan," kata Jahja.
Jahja mengungkapkan saat ini jika dilihat belum ada kebutuhan untuk menaikkan bunga. Namun dia menyebutkan suku bunga antar bank juga tergantung pada kecukupan likuiditas di pasar.
Apalagi BI juga sudah mengumumkan GWM yang bisa mengetatkan kondisi likuiditas di pasar. Menurut dia, kondisi ini bisa membuat beberapa bank yang harus menaikan bunga deposito untuk menambah likuiditas meskipun bunga acuan BI diprediksi masih tetap.
"Tapi kalau bank-bank ini menyedot dana pihak ketiga (karena bunga deposito tinggi) dan mempengaruhi yang lain, maka bisa naik juga. Nah ini bisa menyebabkan pressure pada (bunga) kredit atau NIMnya berkurang," jelas dia.
Meskipun begitu, Jahja mengatakan untuk penyaluran kredit selalu ada supply and demand. Meskipun ada peluang menaikkan bunga namun jika kompetitor menawarkan bunga kredit yang lebih rendah, bank juga akan berpikir ulang. "Kalau kompetitor menawarkan kredit lebih murah ya susah, jadi tidak semudah itu," jelas dia.
Jahja menyebutkan untuk suku bunga memang tergantung pada setiap bank. Untuk BCA saat ini masih memiliki kekuatan untuk menahan cost of fund. "BCA likuiditasnya besar, punya tenaga dalam yang cukup untuk mempertahankan cost of fund. Kalau yang lain naik, kita tidak perlu ikut-ikutan naik, kita bisa kendalikan pricing kita," jelasnya.
(kil/fdl)