Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengusulkan kursi anggota dewan gubernur (ADG) Bank Indonesia (BI) bisa diisi oleh anggota partai politik.
Dalam rancangan Undang-undang (RUU) Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK) DPR juga telah menghapus Pasal 47 C yang sebelumnya ada di UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (BI).
Kalangan pengamat menilai usulan tersebut ngawur karena bisa mengganggu independensi BI sebagai bank sentral. Apalagi BI memiliki cakupan kebijakan yang luas di Indonesia.
Baca juga: Bahayanya Kalau Politisi Jadi Bos BI! |
Direktur Riset CORE Abdullah mengungkapkan jika usulan tersebut bisa mengganggu independensi BI sebagai bank sentral.
"Argumen DPR ngawur, independensi bank sentral itu sebuah keharusan. Oleh karena itu tidak hanya dalam prosesnya, tapi pengambilan keputusannya juga dijaga," kata dia.
Piter menyebutkan independensi ini sudah sangat jelas ada dalam UU BI, bahwa bank sentral dilarang untuk diintervensi. "Independensi itu dijaga dengan tidak memasukan unsur-unsur yang berpotensi terjadinya intervensi yaitu tidak memasukkan unsur politik. Ini sudah terlihat sangat jelas ketika BI dipisahkan dari pemerintah pada 1999 lalu," jelas dia. Menurut Piter, jangan sampai kondisi tersebut terulang dan BI harus tetap independen.
Direktur CELIOS Bhima Yudhistira Adhinegara mengungkapkan idealnya ADG BI memang harus independen dan bukan orang yang berasal dari politisi.
"Ini demi menjaga independensi dan marwah BI. Karena kebijakan moneter ini sangat sentral dan berpengaruh ke hidup matinya ekonomi negara," kata Bhima.
Direktur Eksekutif INDEF Tauhid Ahmad mengungkapkan keputusan Dewan Gubernur BI yang diambil sangat independen. "Ya nggak boleh (politisi jadi ADG BI), sangat penting independensi, bisa-bisa nanti jadi insight trader nih," ujarnya.
Bagaimana usulan ini pertamakali muncul? Dan apa lasan DPR? Buka halaman selanjutnya.
(kil/dna)