Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah meresmikan Undang-undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK) atau Omnibus Law Keuangan pada 15 Desember lalu.
UU PPSK ini saat masih menjadi rancangan sempat ramai karena di dalamnya mengizinkan anggota partai politik bisa menjadi anggota dewan gubernur Bank Indonesia (BI).
Banyak penolakan dari berbagai kalangan, hal itu disebut bisa mengganggu independensi BI sebagai otoritas moneter.
Usulan tersebut berasal dari Komisi XI. DPR menebut jika memang ada anggota parpol terpilih sebagai aggota Dewan Gubernur BI maka secara otomatis harus mengundurkan diri.
Menuai Penolakan
Dalam pemberitaan detikcom edisi (29/9) Direktur Eksekutif INDEF Tauhid Ahmad mengungkapkan untuk urusan bank sentral sebaiknya tak dimasuki urusan politik. Hal ini demi menjaga independensi bank sentral dalam mengambil kebijakan.
"Ini bukan soal kesempatan semua orang ya, tapi serhkan saja pada ahlinya yang memang fokus di bank sentral," kata dia.
Direktur Eksekutif Segara Institute Piter Abdullah mengungkapkan orang politik dalam tubuh bank sentral akan mengganggu proses pengambilan kebijakan yang selama ini independen.
Piter khawatir jika hal ini bisa ditumpangi banyak kepentingan dalam proses pengambilan kebijakan.
Menurut dia, jangan sampai BI seperti BPK yang memiliki banyak orang titipan partai. "Peran BI terlalu besar untuk perekonomian, karena itu jika memasukkan orang politik akan bisa mengganggu. Kalau memang DPR menyebut ada peran politik dalam proses pemilihan, ya cukup prosesnya saja jangan orangnya, jeruk makan jeruk nantinya," imbuh dia.
Bersambung ke halaman selanjutnya.
(kil/dna)