Dikritik Sana-sini, Pemerintah Ngotot Tarik Gaji Pekerja buat Tapera

Dikritik Sana-sini, Pemerintah Ngotot Tarik Gaji Pekerja buat Tapera

Fadhly Fauzi Rachman - detikFinance
Sabtu, 01 Jun 2024 08:12 WIB
Podcast Tolak Miskin: Rela Potong Gaji Demi Tapera?
Foto: Tim Infografis/Denny Putra
Jakarta - Kebijakan baru pemerintah untuk memungut iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) dari gaji pekerja dikritik sana-sini. Meski menuai banyak kritik dan penolakan, pemerintah kukuh menjalankan program ini.

Kritik soal Tapera ini datang dari kalangan pekerja dan pengusaha. Alasannya banyak, mulai dari tak mau ada tambahan potongan gaji, hingga dinilai kurang efektif buat beli rumah. Secara hitung-hitungan, kebijakan ini juga dinilai memberatkan kaum pekerja dan pengusaha.

Pekerja Ogah Ada Potongan Gaji Tambahan

Dari sisi pekerja, mereka tegas menolak karena ogah ada tambahan potongan gaji. Dari total 3% iuran Tapera, pekerja kebagian menanggung 2,5% dari gaji yang diterima setiap bulan. Bukan cuma membebani, mereka tak yakin bisa memiliki rumah dari iuran Tapera ini.

"Secara akal sehat dan perhitungan matematis, iuran Tapera sebesar 3% (dibayar pengusaha 0,5% dan dibayar buruh 2,5%) tidak akan mencukupi buruh untuk membeli rumah pada usia pensiun atau saat di PHK," kata Presiden Partai Buruh dan KSPI Said Iqbal, Kamis kemarin.

Saat ini upah rata-rata buruh Indonesia Rp 3,5 juta per bulan. Jika dipotong 3% per bulan, maka iurannya jadi Rp 105.000/bulan atau Rp 1.260.000/tahun. Kalau dihitung lebih jauh, dalam jangka waktu 10-20 tahun ke depan uang yang terkumpul Rp 12.600.000 sampai Rp 25.200.000.

"Pertanyaan besarnya adalah, apakah dalam 10 tahun ke depan ada harga rumah yang seharga Rp 12,6 juta atau Rp 25,2 juta dalam 20 tahun ke depan? Sekali pun ditambahkan keuntungan usaha dari tabungan sosial Tapera tersebut, uang yang terkumpul tidak akan mungkin bisa digunakan buruh untuk memiliki rumah," ucapnya.

"Jadi dengan iuran 3% yang bertujuan agar buruh memiliki rumah adalah kemustahilan belaka bagi buruh dan peserta Tapera. Sudahlah membebani potongan upah buruh setiap bulan, di masa pensiun atau saat PHK juga tidak bisa memiliki rumah," tambah Said Iqbal.

Pada kesempatan lain, Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Elly Rosita Silaban juga keberatan ada iuran Tapera. Dia menghitung, dengan gaji UMR Jakarta, pekerja harus membayar sekitar Rp 126 ribu per bulan.

Di luar itu, upah pekerja selama ini sudah dipotong 4,5%. Padahal, kata Elly, kalau Tapera ini sifatnya tabungan, seharusnya dilakukan secara sukarela. Bukan malah mewajibkan dan dipaksakan. Apalagi, banyak buruh terutama dari sektor padat karya yang penghasilannya kecil.

"Bagaimana mungkin pekerja di padat karya ada upah yang Rp 2 juta membayar iuran? Ini kang nggak ada batasan bayaran tabungan berapa. Kita menyumbang yang miskin sementara kita juga masih miskin," kata Elly dalam acara Konferensi Pers Terkait Tapera, Jumat Kemarin.

Dia tegas keberatan dan tidak mampu kalau harus bayar Rp 100 ribuan setiap bulan. Untuk itu, dia meminta pemerintah bisa merevisi pasal terkait konsep Tapera. Sebab, sampai pensiun pun belum tentu pekerja bisa beli rumah dari iuran Tapera.

"Untuk pemerintah membatalkan setidaknya revisi pasal paling krusial pasal 7 ya yang wajib jadi sukarela. Kalau Anda mau nabung silakan, ya silahkan. Kalau mau dapat rumah melalui Tapera, silakan. Kita kalikan Rp 100 ribu sampai usia 58 tahun itu nggak sampai Rp 100 juta ya. Saya sudah pensiun, saya belum dapat rumah," imbuhnya.

Dari Sisi Pengusaha

Pengusaha juga lantang menyuarakan penolakan iuran Tapera. Bukan apa-apa, ini lantaran para pengusaha juga ikut menanggung beban 0,5% dari total 3% iuran Tapera ini. Mereka juga ogah dipaksa dapat tambahan beban dari Tapera.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Shinta Kamdani mengatakan selama ini pemberi kerja sudah punya banyak tanggungan, mulai dari jaminan tenaga kerja, JHT, jaminan kematian, kecelakaan kerja, pensiun jaminan sosial kesehatan, hingga cadang pesangon. Totalnya sekitar 18,24-19,74% setiap bulan.

Sama seperti Elly, Shinta menilai seharusnya iuran tersebut tidak bersifat wajib, tapi sukarela. Dia minta pemerintah bisa merevisi aturan Tapera.

"Kita bukan menggagalkan (UU dan PP) ya, sekali lagi ini kita coba merevisi dengan apa yang ada. Yang kita tolak itu adalah pembebanan iuran kepada kami, secara paksa, wajib, bukan sukarela. Kalau ini dibuat dengan konsep sukarela, kami tidak ada masalah, jadi kita bukan menolak UU dan PP-nya," kata Shinta di Kantor Apindo.

Dia juga khawatir program Tapera ini tumpang tindih dengan program Manfaat Layanan Tambahan (MLT) dari BPJS Ketenagakerjaan. Pengusaha berharap pemerintah bisa mengoptimalkan program yang sudah ada ketimbang menggalang iuran baru.

Di samping itu, Shinta juga merasa pengusaha dan pekerja kurang dilibatkan dan disosialisasikan sebelum kebijakan tersebut resmi ditetapkan. Hal inilah yang menurutnya membuat banyak ketidaksesuaian dengan kebutuhan di lapangan.

"Saya merasa perlu ada posisi bersama untuk memberikan masukan ke pemerintah. Karena kadang-kadang pemerintah juga bingung dengan kepentingannya, dalam saat ini kepentingan kita sama, jadi inilah. Nanti kami jelas masuk memberikan lebih rinci lagi apa saja yang sebaiknya dilakukan, konsep antara pemaksaan dan sukarela. Sukarela monggo, tapi ini tidak bisa dipaksakan," ujar Shinta.

Untuk itu, pengusaha dan buruh menyatakan kompak bakal mengadukan hal ini ke Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) kalau pemerintah tak kunjung merespons.

"Kalau kita melihat langkahnya apa langkah selanjutnya kita akan lakukan jadi memang judicial review. Kalau memang harus dilakukan ya mungkin kita akan harus ke arah situ yang kita mau bersama sama (dengan buruh)," kata Shinta.

Pemerintah Tetap Jalankan Tapera

Walaupun sudah banyak yang mengkritik dan menolak kelas iuran Tapera, pemerintah tetap akan menjalankan aturan yang sudah diteken Presiden Jokowi. Jokowi juga sudah buka suara soal iuran Tapera ini.

Pada awal pekan kemarin, Jokowi mengatakan setiap kebijakan baru pasti ada pro dan kontra. Ia pun memaklumi hal itu. Menurutnya masyarakat pasti akan berhitung seberapa besar gaji yang bakal dipotong.

"Iya semua dihitung lah. Biasa. Dalam kebijakan yang baru itu pasti masyarakat juga ikut berhitung, mampu atau nggak mampu, berat atau nggak berat," ungkap Jokowi ditemui di Istora Senayan.

Jokowi pun menyamakan kewajiban iuran Tapera lewat potongan gaji ini dengan iuran BPJS Kesehatan. Awalnya bagi masyarakat di luar penerima bantuan iuran (PBI) BPJS Kesehatan keberatan harus membayar iuran dari gajinya tiap bulan. Seiring berjalannya program ini, masyarakat yang awalnya keberatan membayar iuran merasakan sendiri fasilitas kesehatan yang gratis.

"Seperti dulu BPJS, di luar yang PBI yang gratis 96 juta kan juga ramai tapi setelah berjalan saya kira merasakan manfaatnya bahwa rumah sakit tidak dipungut biaya," ungkap Jokowi.

Jokowi yakin keuntungan-keuntungan bagi masyarakat seperti yang terjadi pada BPJS Kesehatan pasti akan dirasakan juga setelah semua berjalan. Dalam hal ini tabungan perumahan membuat masyarakat lebih mudah untuk memiliki rumah. "Hal-hal seperti itu yang akan dirasakan setelah berjalan. Kalau belum biasanya pro dan kontra," kata Jokowi.

Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan kebijakan tersebut pasti akan diimplementasikan karena diatur dan dikuatkan dalam undang-undang.

Iuran Tapera diatur dalam PP Nomor 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Dana program Tapera tersebut kemudian dikelola oleh Badan Pengelola Tapera (BP Tapera) yang dibentuk berdasarkan UU Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat.

"Ini kan undang-undang," kata Airlangga di Gedung Bursa Efek Indonesia, Kamis lalu.

Saat ditanya atas kemungkinan kebijakan ini diundur karena banyaknya penolakan seperti kenaikan UKT beberapa waktu lalu, Airlangga mengatakan penolakan terjadi gara-gara kurang sosialisasi. "Jadi Tapera itu saya lihat perlu sosialisasi yang lebih dalam. Karena Tapera itu kan ada manfaatnya," ujar dia.

Lalu pada Jumat kemarin, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko juga mengeluarkan pernyataan yang tak jauh beda dengan Airlangga. Kritik dan penolakan terjadi karena kurang sosialisasi. Ia menjelaskan Tapera adalah perpanjangan dari Bapertarum (Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil) yang sebelumnya dikhususkan untuk ASN.

Lalu kebijakan ini diperluas buat mengatasi masalah backlog perumahan di mana 9,9 juta masyarakat yang belum punya rumah. Moeldoko menekankan bahwa Tapera ini bukan potong gaji atau iuran, melainkan sistem menabung. Pekerja yang sudah mempunyai rumah disebut bisa mencairkannya ketika pensiun.

"Jadi saya ingin tekankan Tapera ini bukan potong gaji atau bukan iuran, Tapera ini adalah tabungan. Dalam UU memang mewajibkan. Bentuknya nanti bagi mereka yang sudah punya rumah bagaimana apakah harus membangun rumah? Nanti pada ujungnya pada saat usia pensiun selesai, bisa ditarik dengan uang atau pemupukan yang terjadi," ucapnya.

Moeldoko menyatakan program iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang dikelola BP Tapera tidak akan ditunda. Program ini akan tetap berjalan pada 2027. Moeldoko menegaskan sejak ada perubahan dari Bapertarum ke BP Tapera, bahkan sampai sekarang belum ada sama sekali iuran yang diaplikasikan kepada seluruh pekerja di Indonesia baik swasta maupun pegawai negeri.

"Kesimpulan saya bahwa Tapera ini tidak akan ditunda, wong memang belum dijalankan. Sejak ada perubahan Bapertarum ke Tapera, ada kekosongan dari 2020 ke 2024 tidak ada sama sekali iuran, karena memang Tapera belum berjalan," tegas Moeldoko.

Simak Video 'Serba-serbi Tapera: Rumah yang Didapat-Sanksi Tak Bayar Iuran':

[Gambas:Video 20detik]



(fdl/fdl)


Hide Ads