LTV adalah nilai kredit atau jumlah pembiayaan yang bisa diberikan bank kepada pemohon kredit dengan jaminan atau agunan berupa properti atau kendaraan. Sebelum relaksasi ini LTV tercatat 85% jadi nasabah KPR harus menyetor uang muka atau DP sebesar 15% dari total pinjaman.
Kebijakan ini diharapkan bisa mendorong pertumbuhan ekonomi melalui kredit dan sektor perumahan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perry menjelaskan pokok-pokok pelonggaran LTV yang akan dirilis BI, yaitu membebaskan ketentuan LTV untuk pembelian rumah pertama untuk semua tipe. Sedangkan rasio LTV untuk rumah kedua dan seterusnya 80-90%, kecuali untuk rumah tipe 21.
"Kami membebaskan ketentuan LTV untuk pembelian rumah pertama untuk semua tipe. Sementara rasio LTV untuk rumah kedua dan seterusnya 80-90% terkecuali untuk tipe di bawah 21 meter persegi yang memang kami bebaskan untuk LTV-nya," ujar Perry.
"Kedua, pelonggaran jumlah fasilitas kredit melalui mekanisme inden dimungkinkan dan diperbolehkan maksimum lima fasilitas kredit tanpa lihat urutan," kata Perry.
"Ketiga, penyesuaian aturan tahapan pencairan kredit pembiayaan yaitu menjadi maksimum pencairan kumulatif sampai 30% dari plafon setelah akad kredit setelah ditandatangani dapat dicairkan kredit maksimum 30%," tutur Perry.
"Tahapan selanjutnya saat pondasi selesai, pencairan kumulatif kredit 50% dari plafon. Untuk tutup atap selesai kredit kumulatif 90% dari plafon," tambahnya.
Setelah selesai dibangun, kemudian dilakukan penandatanganan dan serah terima beserta akta jual beli (AJB).
"Maksimum sampai 100% dari plafon saat penandatanganan serah terima yang telah dilengkapi AJB dan cover note," ujar Perry.
Dengan relaksasi aturan LTV, BI meyakini bisa mempermudah kepemilikan rumah, khususnya rumah pertama. Dengan demikian, penjualan rumah bisa meningkat.
"Kami yakini relaksasi kebijakan LTV ini akan permudah perolehan rumah khususnya untuk first time buyer. Selain itu relaksasi kebijakan LTV ini akan dorong pembelian rumah," ujar Perry.
Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan penyempurnaan ketentuan mengenai LTV atau FTV yang dilakukan BI pada 2016 lalu mampu meningkatkan pertumbuhan kredit atau pembiayaan pemilikan rumah yang diberikan bank. Namun, nyatanya belum optimal di tengah kondisi Indonesia yang membaik dengan risiko yang masih terjaga.
Kemudian siklus kredit properti masih berada pada fase rendah tetapi masih memiliki potensi akselerasi yang didukung oleh penyediaan dan permintaan terhadap produk properti yang mulai meningkat serta kemampuan debitur yang masih baik. Selain itu, sektor properti merupakan sektor yang memiliki efek pengganda yang cukup besar terhadap perekonomian nasional.
"Jadi begini, saya sampaikan bahwa untuk rumah pertama tentu tidak ada aturan untuk besaran LTV untuk rumah pertama. Tentu masing-masing bank bisa menyesuaikan praktik manajemen risiko yang ada," ujar Perry di Gedung BI, Jakarta Pusat, Jumat (29/6/2018).
Sebelum direlaksasi ketentuan yang ada untuk kredit rumah pertama tipe di atas 70 meter persegi memiliki LTV sebesar 85% artinya calon pembeli harus memberikan uang muka 15% kepada bank. Setelah relaksasi, jumlah uang muka bisa lebih rendah atau lebih tinggi tergantung dari kemampuan bank untuk memitigasi risiko. Aturan ini juga berlaku untuk kredit rumah susun.
Perry menjelaskan, penyempurnaan aturan tersebut sudah sesuai dengan prinsip kehati-hatian dan perlindungan konsumen. Hal ini karena relaksasi tersebut juga bertujuan untuk mendorong first time buyer dan juga menstimulasi pembelian rumah untuk investasi.
Deputi Gubernur BI Erwin Rijanto mengungkapkan dengan adanya pelonggaran ini diharapkan bisa mendorong pertumbuhan kredit properti.
"Dalam perhitungan kita, dengan pelonggaran LTV ini sesuai dengan diskusi yang kita lakukan dengan asosiasi dan Perbanas, bisa menaikkan kredit properti hingga 13-14%," kata Erwin dalam konferensi pers di Gedung BI, Jakarta Pusat, Jumat (29/6/2018).
BI juga memberlakukan syarat untuk bank yang bisa memanfaatkan pelonggaran ini. Pertama, bank harus memiliki rasio kredit bermasalah secara bersih nett kurang dari 5%, kemudian rasio kredit properti bermasalah secara kotor atau gross sebesar 5%.
Kemudian bank juga diwajibkan untuk memastikan tidak terjadi pengalihan kredit kepada debitur pada bank yang sama maupun bank lain untuk jangka waktu minimal satu tahun. Kewajiban ini berlaku hanya untuk bank yang akan menyalurkan kredit atau pembiayaan properti secara inden.
"Implementasi pelonggaran inden hanya berlaku bagi bank yang memiliki kebijakan yang memperhatikan kemampuan debitur untuk melakukan pembayaran," ujar dia.
Selain itu bank juga harus memiliki kebijakan sendiri untuk memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam memberikan kredit. BI juga memberlakukan implementasi pelonggaran pencairan secara bertahap, hanya diberikan kepada pengembang yang memenuhi kebijakan manajemen risiko bank.
"Bank juga wajib memastikan transaksi dalam rangka pemberian kredit dan pencairan bertahap harus dilakukan melalui rekening bank dari debitur dan developer atau penjual," ujarnya.
Dari data BI saat ini pertumbuhan kredit perbankan pada April 2018 tercatat 8,9% kemudian dana pihak ketiga (DPK) tercatat 8,1%. Rasio capital adequacy ratio (CAR) 22,1% dan rasio likuiditas 20,3%.
Kemudian rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) tetap rendah yakni 2,79% secara kotor atau 1,28% secara bersih. Sementara itu, pembiayaan ekonomi melalui pasar modal, seperti penerbitan saham (IPO dan rights issue), obligasi korporasi, Medium Term Notes (MTN), dan Negotiable Certificate of Deposit (NCD) meningkat 15,8% (yoy) pada April 2018.
Dengan perbaikan ekonomi dan kemajuan konsolidasi korporasi dan perbankan, BI memperkirakan pertumbuhan kredit dan DPK akan lebih baik pada 2018, masing-masing dalam kisaran 10-12,0% (yoy) dan 9-11,0% (yoy). Sejumlah langkah perlu ditempuh untuk mengoptimalkan pertumbuhan kredit melalui kebijakan makroprudensial yang akomodatif.
Sekretaris Jenderal DPP Real Estat Indonesia (REI) Paulus Totok Lusida mengatakan, kebijakan tersebut akan membangkitkan sektor properti. Dia mengatakan, relaksasi ini akan membuat pengembang semangat membangun rumah.
"Iya (semangat), kita optimis sekali, sudah minggu lalu rapatnya kita optimis sekali dengan diskusi dan pencapaian dan baru pertama BI mengajak asosiasi diskusi menyepakati suatu kebijakan," kata Paulus kepada detikFinance di Jakarta, Jumat (29/6/2018).
Dengan relaksasi tersebut, Totok mengatakan, DP yang diterapkan bisa sampai 0%. Pihaknya tak khawatir kebijakan ini akan membuat kredit macet, sebab perbankan akan memitigasi risiko.
"Prudent, kan banyak yang dipertimbangkan. Misalnya penghasilannya jelas, PNS jangka panjang, hampir tidak ada kan risiko," terangnya.
Menurutnya, jika risikonya minim konsumen seharusnya bisa menerima DP 0%.
"Itu pasti bisa 0%, tapi kalau karyawan swasta kan dilihat dulu reputasinya nanti takutnya dibeli kredit, dia keluar PHK," tutupnya.
Pada ketentuan ini, BI membebaskan ketentuan LTV untuk pembelian rumah pertama untuk semua tipe.
Sekretaris Jenderal DPP Real Estat Indonesia (REI) Paulus Totok Lusida mengatakan, kebijakan ini akan membangkitkan sektor properti. Lantaran, kebijakan ini akan memacu pembelian rumah.
Totok menuturkan, dengan pembebasan itu maka uang muka yang diterapkan bisa mencapai 0%.
"Iya DP bisa 0%," kata dia kepada detikFinance di Jakarta, Jumat (29/6/2018).
Meski begitu, dia berharap perbankan tidak menaikkan bunga KPR. Apalagi, BI baru saja menaikkan suku bunga acuan sebanyak 0,5% menjadi 5,25%.
"Bunga kredit tidak naik, saya harapkan dengan BI rate yang naik bunga kredit tidak naik. Kemarin Gubernur BI sudah garansi karena sudah melonggarkan pihak perbankannya terhadap likuiditasnya," ungkapnya.
Dia menuturkan, bunga KPR saat ini variatif. Dia bilang, bunga KPR antara 9-12%.
"Kalau KPR sih sebagian sudah single digit, tapi sebagian masih double digit kan bunga sekitar antara 9-12%. Kalau 7 atau 6% atau berapapun hanya short term," tutupnya.