NJOP DKI Jakarta Naik, Apa Dampaknya?

NJOP DKI Jakarta Naik, Apa Dampaknya?

Fadhly Fauzi Rachman - detikFinance
Minggu, 08 Jul 2018 09:30 WIB
NJOP DKI Jakarta Naik, Apa Dampaknya?
Foto: Nadia Permatasari/Infografis
Jakarta - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menaikkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Bumi dan Bangunan tahun 2018. Kenaikan ini pun menimbulkan banyak tanggapan dari banyak pihak.

keputusan naiknya NJOP tertuang dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Provinsi DKI Jakarta Nomor 24 Tahun 2018 yang diundangkan pada 4 April 2018.

Dalam aturan tersebut, NJOP Bumi untuk daerah Palmerah Utara tercatat Rp 41,8 juta per meter persegi. Sedangkan di wilayah Gatot Subroto NJOP Bumi tercatat Rp 47,9 juta per meter persegi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lantas, apa dampaknya dari kenaikan NJOP ini?
cKeinginan untuk membeli properti atau rumah di Jakarta akan semakin sulit dengan adanya kenaikan NJOP Bumi dan Bangunan tahun 2018.

Country General Manager Indonesia REA Group/Rumah123 Ignatius Untung mengatakan sejatinya harga properti di DKI akan terus mengalami melambung dengan ada atau tidaknya kenaikan NJOP.

Pria yang kini menjabat sebagai Ketua Umum idEA (Indonesian E-commerce Association) itu mengatakan untuk bisa membeli rumah, terutama di DKI maka konsumen harus bisa memaksakan diri.

"Karena walaupun NJOP nggak naik, tapi harga rumah memang pasti naik terus. Market lagi slow saja (harga rumah) naik. Intinya memang harus diprioritasin sih menurut saya," kata Untung kepada detikFinance, Jakarta, Sabtu (7/7/2018).

"Jadi kalau dari sisi pembelinya harus maksain diri, jangan dinanti-nanti. Jadi secara nggak langsung walaupun NJOP nggak naik, harga rumah pasti terus naik, apalagi dengan adanya kenaikan NJOP, tambah naik lagi harganya," sambung dia.

Untuk itu, Untung menyarankan agar setiap orang yang hendak membeli rumah bisa mengatur kondisi keuangannya, seperti soal pemasukan. Dia menyarankan agar pemasukan bulanan yang diterima bisa disisihkan 30% di awal untuk membayar uang muka atau down payment (DP).

"Sebenarnya gini, klau tipsnya untuk pembeli, kalau maksain kan untuk yang sudah telat memang agak susah ya, biarpun semakin ditunda juga makin susah. Penyakitnya selalau gitu, jadi tetap harus dipaksain," kata dia.

"Maka untuk yang belum terlambat itu harus dimulai, mulainya bagaimana? jadi pertama kali terima gaji itu langsung ditabung 30%, itu tabung untuk DP rumah. Nah sekarang kan ada kebijakan lagi katanya mau ada DP Rp 0," tutupnya.

Kenaikan NJOP ini dinilai membuat dilema tak hanya bagi pembeli, namun juga untuk para penjual rumah.

Ignatius Untung mengungkapkan dengan kenaikan NJOP ini maka harga jual rumah akan jadi semakin tinggi. Menurutnya, hal itu tidak serta-merta menjadi keuntungan bagi yang ingin menjual rumah atau propertinya.

Menurutnya, kondisi pada industri properti saat ini masih mengalami perlambatan. Di mana, penjualan rumah masih sulit untuk dilakukan.

"Karena sekarang kalau kita lihat industri properti Jabodetabek belum kembali ke posisi normal, masih melambat. Kita lihat di beberapa area orang jual rumah itu kalau dia butuh uang, karena uangnya mau dipakai, dia sudah mau turunin harga, yang penting laku," kata Untung.

Namun karena adanya kenaikkan NJOP ini maka penjual rumah akan merasakan dilema. Di satu sisi si penjual membutuhkan uang dengan berencana menawarkan harga propertinya dengan rendah, tapi di sisi lain dia juga akan merasa rugi karena memberi penawaran rendah di tengah adanya kenaikkan NJOP.

"Ketika NJOP-nya naik, dia semakin nggak rela untuk turunin harga, karena harganya naik tapi dia malah turunin. Tapi kalau dia nggak turunin, nggak laku-laku. Jadi dilema buat yang jual," ujarnya.

Oleh sebab itu, kenaikkan NJOP ini dinilai membuat para penjual rumah berada dalam posisi yang serba salah. Sebab, di tengah perlambatan industri properti yang terjadi saat ini, namun harga rumah 'dipaksa' naik karena adanya kenaikan NJOP.

"Lah orang harga lama yang nggak naik aja dijual susah, apalagi ini harga lebih mahal makin susah dijual. Padahal butuh juga, jadi paling nanti orang jual rugi, tapi jatuhnya jadi sakit hati banget. Jadi pasti dilema banget," tuturnya.

Adanya kenaikan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Bumi dan Bangunan tahun 2018 di DKI Jakarta dinilai membuat kebijakan pelonggaran loan to value (LTV) untuk kredit pemilikan rumah (KPR) dari Bank Indonesia (BI) jadi tak berguna.

Ignatius Untung mengatakan walaupun nantinya bank bisa memberikan kredit 100% atau tanpa uang muka ke nasabah, namun harga rumah jadi semakin mahal, maka pembeli akan jadi lebih kesulitan.

"Memang sebenarnya NJOP naik ini jadi meniadakan benefit-nya LTV. Karena harganya naik. NJOP dibikin harga naik, terus tanpa DP, tapi harga rumah naik sama saja bohong," jelasnya.

"Kebijakan LTV kan baru dimulai 1 Agustus 2018, tapi sekarang NJOP sudah keburu naik. Jadi tergerus, bahkan jadi lebih berat. Harga rumah makin mahal, orang jadi makin nggak bisa beli," sambungnya.

Dia mengatakan, sejatinya pengaruh dari naiknya NJOP kepada industri properti saat ini tidak terlalu menguntungkan. Bahkan bisa dibilang menghambat.

Ignatius Untung mengatakan adanya kenaikan NJOP ini dapat menghambat industri properti yang ada saat ini. Sebab, penjualan properti seperti rumah di Jakarta juga masih mengalami kelesuan.

"Yang jelas impact ke industri properti nggak terlalu menguntungkan. Jadi (kenaikan) NJOP ini membantu nggak, nyusahin iya," kata Untung.

Sebab menurutnya, penjualan harga rumah, khususnya rumah bekas akan sangat mengacu pada NJOP. Sehingga dengan adanya kenaikan NJOP ini, maka penjualan akan lebih sulit dilakukan.

"Kalau NJOP-nya terlalu rendah, naikin harga rumah juga bisa gila-gilaan. Misal NJOP Rp 1 juta per meter, kan nggak masuk akal masa tanah di Jakarta Rp 1 juta per meter, Jakarta sudah belasan juta harga jualnya, otomatis taruhlah Rp 11 juta jadi dinaikkan 1000%" jelasnya.

"Nah ketika NJOP naik jadi Rp 5 juta per meter, dia akan mendorong naik. Yang kemarin NJOP Rp 1 juta aja harga jualnya Rp 11 juta, ini masa Rp 5 juta nggak ikut naik, entah naik jadi Rp 13-15 juta. Naiknya mungkin nggak linear dengan kenaikan NJOP, tapi itu pasti mendorong kenaikan harga properti," katanya.

Oleh sebab itu, Untung mengatakan bahwa adanya kenaikan NJOP ini bakal lebih membebani industri properti di tengah kelesuan penjualan.

"Kenaikan NJOP ini sama saja tanda kutip dipaksa menaikkan harga. Lah orang harga lama, yang (NJOP) nggak naik saja dijual susah, apalagi ini harga lebih mahal semakin susah dijual," tuturnya.

Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno mengatakan banyak pengusaha yang tak setuju dengan kenaikan NJOP Bumi dan Bangunan 2018 di Jakarta. Sebagai mantan pengusaha, Sandiaga mengaku bisa memahami hal itu.

"Tentunya pengusaha (tidak setuju). Saya tahulah pengusaha kalau dinaikin ya tentulah, nggak pernah setujulah. Saya dulu juga pengusaha, tapi nanti apa yang dilakukan, naikin lagi buat harga masyarakat, masyarakat yang di situ menikmati juga ketika harganya naik," kata Sandiaga di GOR PKP, kelapa Dua Wetan, Ciracas, Jakarta Timur, Sabtu (7/7/2018).

Sandiaga juga mengatakan sudah ada beberapa pengusaha, khususnya dari sektor properti yang secara langsung menyampaikan pendapatnya terkait kenaikan NJOP. Termasuk soal dampak negatif dan positif dari kebijakan tersebut.

"Berarti NJOP naik, pengusaha properti juga, propertinya naik juga harganya, dan bisa melakukan penjualan dengan harga yang lebih tinggi," ungkap Sandiaga.

Dia menjelaskan, adanya kenaikan NJOP yang rata-rata sebesar 19,54% itu sudah dikaji dengan berbagai pertimbangan yang matang. Ia juga menyebut kenaikan itu merupakan suatu penyesuaian yang berkeadilan.

"Jadi ini merupakan satu penyesuaian yang insyaAllah berkeadilan," ujarnya.

Sandiaga menjelaskan, kenaikan NJOP bumi dan bangunan ini berkaitan dengan perubahan fungsi dan pembangunan infrastruktur seperti jalan tol. Sehingga, NJOP harus ikut menyesuaikan.

"NJOP itu naik karena kita sesuaikan daerah-daerah yang jomplang harga nilai pasar maupun nilai yang sekarang tertera di NJOP-nya," kata Sandiaga.

"Misalnya di Jakarta Timur banyak jalan tol yang dibangun dan aksesnya jadi naik, harga tanahnya juga meningkat. Nah di sini harga tanah yang meningkat juga harus diikuti, dengan nilai NJOP yang disesuaikan," imbuhnya.

Sandi memastikan kenaikan NJOP ini tidak akan memberatkan masyarakat, khususnya masyarakat menengah ke bawah. Ia yakin kebijakan ini akan berkeadilan bagi seluruh warga Jakarta.

"NJOP akan memastikan pertumbuhan anggaran kita yang baik tapi juga memastikan bahwa kita bisa menghadirkan satu kesetaraan bagi warga masyarakatnya. Ini juga jadi tuntutan banyak masyarakat begitu fasilitas meningkat, aksesnya, harga tanahnya meningkat dan ini akan mendorong infrastruktur," tuturnya.

Hide Ads