Tentu saja wacana ini banyak pertimbangan dan butuh persiapan lebih. Namun, tidak ada yang tidak mungkin tentang pemindahan ibu kota sebuah negara. Karena di negara lain, seperti Brasil dan Myanmar juga telah suskes memindahkan ibu kota negaranya.
Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN), Arif Budimanta mengaku optimistis, apabila semua pihak berkomitmen dalam pemindahan Ibu Kota ini secara sungguh-sungguh, maka tidak ada kendala yang menjadi halangan untuk rencana tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Arif, proses pemindahan Ibu Kota tentu harus melalui tahapan yang panjang dalam implementasinya. Oleh karenanya, butuh komitmen dari berbagai pihak dalam mendukung kesuksesan pemindahan Ibu Kota ini.
"Tentu pertama dari mulai proses perencanaan, sampai kemudian nanti kepada ke implementasi, ke infrastruktur sampai masuk ke pemindahan sumber daya manusia. Kan itu membutuhkan jangka waktu yang tidak singkat," ujar Arif,
"Kalau kita tahu seperti Myanmar saja yang membutuhkan waktu sekitar 7 tahun, kemudian di Brasil juga ada 2 atau 3 kali yang di wilayah Brasilia juga menjadi Ibu Kota baru," imbuhnya.
Terkait biaya pemindahan Ibu Kota tersebut dipastikan memakan biaya yang tak sedikit. Bahkan, Bappenas menyebutkan setidaknya memerlukan biaya sekitar Rp 466 triliun atau USD 33 miliar untuk rencana tersebut.
Menanggapi hal tersebut, Arif menilai bahwa dalam membangun infrastruktur di Ibu Kota yang baru, tidak semuanya harus dibiayai negara. Meskipun untuk infrastruktur pemerintah harus dibiayai negara, namun fasilitas lain yang bisa dipergunakan bersama dapat melalui skema kerja sama dengan badan usaha.
"Adapun pembiayaan menurut pandangan kami, kan kita bisa melihat, tentu saja kalau kantor pemerintah harus dibiayai APBN, tapi untuk fasilitas-fasilitas yang sifatnya dipergunakan bersama untuk kepentingan publik, atau juga kepentingan privat kan ada mekanisme kerja sama pemerintah dengan badan usaha," ujarnya.
"Jadi skema-skema tentang pembiayaan itu sekarang variasinya sudah begitu banyak. Kita juga tidak perlu bergantung kepada APBN. Tapi kalau untuk pusat-pusat aktivitas pemerintah harus dibiayai APBN," imbuhnya.
Mengenai pembiayaan APBN yang disebut-sebut tak terhindarkan dari utang negara, Arif pun menilai bahwa hal itu juga akan kembali pula kepada rakyat dan menjadi aset. Sehingga, utang yang dihasilkan pun bersifat produktif.
"Katakanlah misalnya ini dibiayai dari APBN dan APBN itu ada defisit kemudian ditutup dengan utang. Tapi itu kan menjadi suatu aktivitas yang produktif dan menjadi aset. Kemudian bekerja dan berfungsi untuk memakmurkan bangsa," ujarnya. (ega/hns)