Pakar Kritik Rencana Sertifikat Tanah Elektronik, Ini Catatannya

Pakar Kritik Rencana Sertifikat Tanah Elektronik, Ini Catatannya

Trio Hamdani - detikFinance
Kamis, 04 Feb 2021 13:21 WIB
Bank Dunia memprediksi laju pertumbuhan ekonomi RI tumbuh 4,4% di tahun 2021. Hal itu didasarkan pada peluncuran vaksin yang efektif pada kuartal pertama 2021.
Foto: Grandyos Zafna
Jakarta -

Menteri ATR/Kepala BPN Sofyan Djalil telah menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) ATR/BPN Nomor 1 Tahun 2021 tentang Sertifikat Elektronik. Atas peraturan tersebut, nantinya semua sertifikat asli akan ditarik dan digantikan sertifikat elektronik (sertifikat-el).

Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika mengkritisi kebijakan tersebut. Menurutnya langkah itu belum dibutuhkan alias bukan hal mendesak dan prioritas. Sebab, pendaftaran tanah sistematis di seluruh wilayah Indonesia belum dilakukan.

"Seharusnya konsentrasi dana APBN dan kerja kementerian diarahkan kepada usaha-usaha pendaftaran seluruh tanah di Indonesia, tanpa kecuali, baik tanah kawasan hutan maupun tanah non kawasan hutan," kata dia melalui keterangan tertulis, Kamis (4/2/2021).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dengan usaha itu maka akan terangkum basis data pertanahan yang lengkap sebagai dasar perencanaan pembangunan nasional, dan sebagai basis pelaksanaan Reforma Agraria, khususnya land reform dan pengakuan wilayah adat.

Seharusnya, menurut dia langkah pensertifikatan atau legalisasi tanah dan digitalisasinya menjadi langkah terakhir. Setelah mandat pokok UUPA, agar negara segera melakukan pendaftaran tanah secara nasional dan sistematis sejak tingkat desa.

ADVERTISEMENT

Dari sisi proses, lanjut dia, implementasi digitalisasi ini akan dimulai dari tanah pemerintah dan kemudian badan usaha yang akan ditarik, lalu divalidasi dan disimpan dalam sistem file elektronik. Lalu bisa dicetak di mana saja oleh pemilik saat dibutuhkan.

"Titik kritis dari proses semacam ini menimbulkan pertanyaan, bagaimana validasi tersebut dilakukan, apakah secara sepihak oleh BPN dan pemohon institusi pemerintah serta badan usaha?," tanyanya.

Dirinya juga mempertanyakan bagaimana posisi masyarakat dalam validasi tersebut? sebab tanah-tanah yang sudah bersertfikat tersebut banyak yang bermasalah. Misalnya tidak sesuai ukuran, tumpang-tindih, sedang bersengketa atau sedang berperkara di pengadilan, sementara sistem antar instansi seperti pengadilan belum terhubung.

Proses tersebut, dinilainya juga rentan bagi rakyat, banyak sertifikat badan usaha merupakan wilayah-wilayah konflik agraria struktural dengan rakyat yang seharusnya justru dituntaskan lebih dahulu, dilepaskan dari klaim pemerintah dan badan usaha.

"Dengan proses semacam ini berpotensi memperparah konflik agraria, mengukuhkan ketimpangan dan monopoli tanah oleh badan usaha swasta dan negara," ungkapnya.

Dari sisi hukum, dia menjelaskan rakyat berhak menyimpan sertifikat asli yang telah diterbitkan. Sertifikat elektronik, warkah tanah dan lain-lain dalam bentuk elektronik seharusnya menjadi sistem pelengkap, dan tujuan memudahkan data base tanah di kementerian. Jadi, digitalisasi bukan bersifat menggantikan hak rakyat atas sertifikat asli.

Menurutnya, sistem IT yang dikelola BPN pun belum benar-benar aman. Aspek security dan reformasi birokrasi pertanahan yang belum terjamin berpotensi menghilangkan data-data rakyat pemilik tanah.

"Sistem digitalisasi dengan tingkat keamanan yang masih meragukan ini, dan tanpa reformasi birokrasi sangat rentan disalahgunakan, bahkan dibajak," jelasnya.

lanjut ke halaman berikutnya

Lihat Video: Jokowi Serahkan 584.407 Sertifikat Tanah untuk 26 Provinsi

[Gambas:Video 20detik]



Dia juga berpendapat kalau sistem digitalisasi hanya akan ramah terhadap masyarakat perkotaan, kelas menengah ke atas dan badan-badan usaha besar karena akses teknologi dan infrastrukturnya sudah terbangun.

Sebaliknya, banyak warga miskin di perkotaan, atau pun masyarakat di perkampungan dan pedesaan yang akan tertinggal dalam proses yang hanya mengedepankan aspek teknologi, tanpa pengakuan hak atas tanah dan reformasi terlebih dahulu.

"Dari sisi orientasi politik agraria, khususnya pertanahan, prioritas kerja pada sertifikasi tanah termasuk digitalisasinya menunjukkan bahwa sistem pertanahan makin diorientasikan untuk terciptanya kepentingan liberalisasi pasar tanah di Indonesia," ujarnya.

Dia menambahkan, hal itu disebabkan sertifikasi tanah (hak milik, HGU, HGB, HP, dan sebagainya) tanpa didahului land reform dan reforma agraria hanya akan melegitimasi monopoli tanah oleh badan usaha skala besar, dengan kata lain hanya mempermudah transaksi jual beli tanah bagi para pemilik modal.


Hide Ads