Dalam beberapa tahun terakhir, marak ditemui kasus proyek properti yang pembangunannya terbengkalai alias mangkrak. Salah satunya yakni kasus Apartemen Meikarta, yang sejak 2017 masalahnya tak kunjung selesai hingga saat ini.
Di sisi lain, kondisi perekonomian masyarakat RI telah berangsur membaik setelah sempat anjlok kala pandemi COVID-19 sejak 2020. Lalu, apakah hingga kini industri properti masih belum bangkit?
Pengamat dan Ahli Properti, Steve Sudijanto, mengatakan saat ini masyarakat masih dalam kondisi wait and see atau dengan kata lain waspada. Hal itu lantaran ekonomi global tengah dalam kondisi yang cukup bergejolak.
"Kondisi ekonomi memang sedang menghadapi gelombang inflasi, daya menurun, dan faktor wait and see. Katanya lebih baik parkir uang di bank dan beli surat berharga dari pemerintah," katanya kepada detikcom, Rabu (22/2/2023).
Oleh karena itu, ia mengatakan, saat ini daya beli masyarakat kembali menurun. Apalagi untuk pasar properti non landed seperti apartemen dan rumah susun.
Hal senada juga disampaikan oleh Wakil Ketua Real Estate Indonesia (REI) Bambang Ekajaya. Ia mengatakan, minat beli masyarakat untuk hunian vertikal agak berkurang. Kondisi inilah yang membuat penjualan dari beberapa pengembang menurun hingga pembangunan fisiknya terhambat.
"Ya memang saat ini pasar properti yang non landed agak berkurang. Dan beberapa developer juga karena penjualan menurun, pembangunan fisiknya jadi terhambat," katanya saat dihubungi terpisah.
Kendati demikian menurutnya pasar untuk hunian vertikal seperti apartemen masih tetap ada sepanjang lokasinya strategis. Pasalnya, hal inilah yang menjadi pertimbangan utama dalam pembelian suatu apartemen.
"Orang memilih apartemen tentu yang utama karena lokasinya. Baru ke harga yang terjangkau," ujarnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Pusat Studi Properti Indonesia (PSPI) Panangian Simanungkalit mengatakan, secara umum industri properti sudah bangkit sejak 2022. Hanya saja memang fenomena berbeda terjadi untuk apartemen.
"Kalau dari permintaan, istilahnya berarti tinggal di apartemen belum memasyarakat di Indonesia ternyata. Jadi ini kegagalan pemerintah kota sebetulnya, untuk memasyarakatkan orang bertempat tinggal di hunian jangkung," katanya.
Menurutnya, salah satu kekurangannya ialah pemerintah kurang memberikan daya tarik kepada masyarakat agar mereka mau bertempat tinggal di hunian vertikal, seperti pemberian insentif. Akibatnya, masyarakat masih membandingkannya dengan rumah tapak.
"Kalau ditanya, rumah tapak kan masih lebih nyaman. Itu yang terjadi sekarang. Jadi gagal pengembang mensosialisasikan bahwa apartemen itu lebih bagus, bersama-sama pemerintah daerah. Nah sekarang kita ada di persimpangan ini," katanya.
Karena itulah, jumlah permintaan pun tidak dapat menutupi jumlah unit yang tersedia sehingga para pengembang kesulitan menyelesaikan proyek. Tidak hanya itu, salah memilih lokasi proyek juga kerap mendatangkan masalah bagi pengembang. Contohnya seperti kawasan-kawasan yang cukup jauh dari pusat kota.
"Kalau sampai mangkrak, itu kan artinya pembelinya tidak ada. Artinya back to basic, lakukan lagi riset. Apakah di daerah itu memang ada demand? Tapi kalau udah mangkrak, lalu demand-nya nggak ada atau kebanyakan investor, jangan harap. Karena kan properti itu lokasi," terangnya.
Oleh karena itu, menurutnya, akan cukup sulit suatu pengembang apartemen di luar kawasan ibu kota untuk memulihkan kemampuannya pasca pandemi COVID-19 dan ditengah gejolak ekonomi global saat ini. Apalagi, yang lokasi proyeknya berada di lingkungan yang gaya hidupnya belum membutuhkan hunian vertikal.
"Mungkin lokasi Jakarta akan lebih cepat pulih. Tinggal di pusat kota, konsekuensinya tinggal di apartemen. Tanahnya mahal. Artinya, saya jamin 2024 setelah pemilu, apartemen di Jakarta angkat bangkit," ujar Panangian.
"Tapi kalau di daerah-daerah, saya tidak jamin. Kalau di luar Jakarta itu pasti akan lebih sulit pulihnya. Kadang bukan masalah properti belum pulih, tapi masalah salah sasaran," tambahnya.
(das/das)