Beberapa waktu belakangan, media hebohkan dengan berbagai kasus protes terhadap para pengembang properti akibat mangkraknya pengerjaan proyek. Kasus ini utamanya terjadi pada proyek hunian vertikal seperti apartemen hingga rumah susun.
Kasus hunian mangkrak memang cukup banyak terjadi di tanah air, terutama pasca pandemi COVID-19 melanda. Salah satu kasus yang paling heboh ialah proyek Apartemen Meikarta, yang sejak 2017 masalahnya tak kunjung selesai bahkan hingga saat ini.
Berdasarkan data yang diperoleh detikcom dari Kabid Pengaduan dan Hukum Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Rio Priambodo, tercatat sektor perumahan menempati posisi tertinggi keempat aduan konsumen individu sepanjang 2022, dengan persentase mencapai 7,3%.
Persentase ini menunjukkan, sebanyak 64 individu dari total 882 pelapor YLKI mengeluhkan masalah perumahan. Secara rinci masalah-masalah pada sektor perumahan ini antara lain refund atau pengembalian dana sebesar 27%, pembangunan mangkrak 21%, dokumen yang tidak terpenuhi 15%, dan lain sebagainya.
"Dalam 5 tahun terakhir jumlah aduan konsumen perumahan selalu masuk 5 besar. Terjadi pergeseran trend aduan konsumen perumahan dari hunian horizontal (rumah tapak) ke hunian vertikal (apartemen/rumah susun)," ujar YLKI, dikutip Rabu (22/2/2023).
Direktur Eksekutif Pusat Studi Properti Indonesia (PSPI) Panangian Simanungkalit mengatakan, Meikarta bukan satu-satunya kasus yang ada di tahun ini. Banyak kasus yang terjadi, hanya saja tidak terangkat ke publik lantaran skalanya lebih kecil.
Ia mengatakan, secara umum industri properti sudah bangkit sejak 2022. Hanya saja memang fenomena berbeda terjadi untuk apartemen. Masyarakat Indonesia sendiri masih belum memiliki gaya hidup tinggal di apartemen dan masih lebih memilih rumah tapak.
Menurutnya, salah satu kekurangannya ialah pemerintah kurang memberikan daya tarik kepada masyarakat agar mereka mau bertempat tinggal di hunian vertikal, seperti pemberian insentif. Karena itulah, jumlah permintaan pun tidak dapat menutupi jumlah unit yang tersedia.
"Kalau sampai mangkrak, itu kan artinya pembelinya tidak ada. Artinya back to basic, lakukan lagi riset. Apakah di daerah itu memang ada demand? Tapi kalau udah mangkrak, lalu demand-nya nggak ada atau kebanyakan investor, jangan harap. Karena kan properti itu lokasi," katanya, saat dihubungi detikcom, Rabu (22/2/2023).
Hal senada juga disampaikan oleh Wakil Ketua Real Estate Indonesia (REI) Bambang Ekajaya. Ia mengatakan, minat beli masyarakat untuk hunian vertikal agak berkurang. Kendati demikian, pasar untuk hunian vertikal seperti apartemen masih tetap ada sepanjang lokasinya strategis.
"Ya memang saat ini pasar properti yang non landed agak berkurang. Dan beberapa developer juga karena penjualan menurun, pembangunan fisiknya jadi terhambat," katanya saat dihubungi terpisah.
Tips Menghindari Para Pengembang 'Nakal'
Lebih lanjut Bambang mengatakan, ada 3 aspek penting yang perlu diperhatikan sebelum membeli properti. Pertama, aspek legalitas.
"Sebagai calon pembeli berhak dan harus mengecek status properti yang diminati, sertifikat kepemilikan lahan yang akan dijual, perizinan pembangunan properti tersebut, serta jika masih ragu bisa cek status PT perusahaan tersebut," katanya.
Berikutnya, reputasi developer. Menurutnya, penting untuk memeriksa proyek apa saja yang pernah ditangani pengembang dan bagaimana hasil kerjanya. Apabila pengembang ini baru pertama kali membangun, ia menyarankan agar konsumen periksa lebih teliti menyangkut status lahan tempat proyek digarap.
Apa lagi tips selanjutnya? Buka halaman selanjutnya.
Simak juga Video: Kontraktor Penyuap Bupati Mamberamo Tengah Ditahan KPK!