Keputusan ini diambil dengan pertimbangan kemampuan finansial. Saat ini Pertamina tengah menjalankan 4 proyek Refinery Development Master Plan (RDMP) alias modifikasi kilang Cilacap, Balikpapan, Balongan, dan Dumai. Selain itu ada 2 proyek Grass Root Refinery (GRR) atau pembangunan kilang baru di Tuban dan Bontang.
Tiap proyek RDMP membutuhkan biaya investasi kurang lebih sebesar US$ 5 miliar atau Rp 65 triliun, sedangkan 1 proyek GRR nilainya sekitar US$ 12,5 miliar alias Rp 162,5 triliun. Artinya semua proyek itu memakan biaya US$ 45 miliar atau Rp 585 triliun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain proyek-proyek kilang, pemerintah juga memberi banyak penugasan lain pada Pertamina, mulai dari sektor hulu hingga hilir migas. Di hulu misalnya, Pertamina diserahi tanggung jawab mengelola Blok Mahakam yang butuh investasi sekitar US$ 2 miliar alias Rp 26 triliun per tahun.
Baru-baru ini, 8 blok terminasi yang habis kontraknya pada 2018 juga diserahkan ke Pertamina. Untuk bisnis di hulu saja, Pertamina sudah habis triliunan rupiah.
Lalu ada penugasan BBM Satu Harga yang sejauh ini sudah dijalankan di 12 daerah. Program BBM Satu Harga ini menggerogoti laba Pertamina hingga Rp 5 triliun per tahun. Belum lagi Pertamina juga harus membangun infrastruktur migas, menyalurkan Elpiji 3 kg, BBM subsidi, dan sebagainya. Begitu banyak tugas yang harus dibebankan pada Pertamina.
"Banyak sekali segmen bisnis yang harus ditangani Pertamina," kata Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, kepada detikFinance, Rabu (7/6/2017).
Agar keuangan Pertamina tak terganggu dan semua proyek kilang dapat berjalan lancar, Komaidi mengusulkan agar porsi kepemilikan swasta di diperbesar, sedangkan porsi Pertamina dikurangi.
Tetapi, pemerintah atau Pertamina tetap harus punya kontrol yang kuat terhadap kilang sekalipun kepemilikan swasta lebih dominan. Sebab, kilang adalah objek vital yang strategis.
"Dalam regulasi yang ada saat ini, ada beberapa skema pembiayaan kilang. Penugasan pemerintah kepada BUMN hanya salah satunya. Yang terpenting adalah kontrol pemerintah atau Pertamina dalam operasional tetap ada. Bagaimanapun kilang merupakan cabang produksi strategis yang harus dikontrol negara," pungkasnya.