Butuh waktu yang cukup lama untuk sampai pada kesimpulan, salah satu penyebabnya konsumsi rumah tangga memang dalam tren perlambatan. Artinya konsumsi masyarakat tetap tumbuh tapi tak lagi setinggi 4-5 tahun yang lalu.
Di samping itu, ada perubahan pola konsumsi dari masyarakat yang nilainya tidak terlalu besar. Penyebab lainnya juga adalah pergeseran strategi bisnis dari ritel itu sendiri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pernyataan Bambang mengulangi apa yang sebelumnya disampaikan oleh Menko Perekonomian, Darmin Nasution, dan Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati.
Namun di sisi lain, Bambang menilai kebingungan masyarakat disebabkan oleh data yang tidak komperhensif. Data tersebut harusnya dimiliki oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
"Menurut saya masih harus dibedah lagi konsumsi. Karena bagaimana pun BPS tidak bisa menangkap yang online yang informal. Yang tingkatnya jumlahnya lebih banyak banyak yang informal," jelasnya.
Bambang bandingkan dengan kondisi di Amerika Serikat (AS). Ritel konvensional juga berguguran, namun tidak menjadi polemik berkepanjangan karena semua tercatat dengan baik. Bahwa tutupnya ritel karena peralihan ke belanja online.
Berbeda dengan Indonesia yang lebih banyak menebak-nebak atas fenomena yang ada.
"Sekarang kita mana tahu, kalau ada datanya berarti BPS punya kan, kenyataannya enggak. Ini kan orang hanya memperkirakan. Orang lihat, yang informal yang pakai Tokopedia, Lazada, dan sebagainya itu mungkin yang kelihatan. Nah yang lewat Instagram, Facebook, memang tertangkap sama BPS atau otoritas?" papar mantan Menteri Keuangan tersebut.
Perubahan di era sekarang terjadi begitu cepat. BPS harusnya, menurut Bambang mampu menangkap kecepatan itu.
"Makanya saya minta BPS segera manfaatkan big data, karena kita ingin data BPS mencakup konsumsi yang sebenarnya. Denyut konsumsi masyarakat harus bisa dicatat," pungkasnya. (mkj/dnl)