Jakarta -
Industri financial technology (Fintech) di Indonesia saat ini sedang mendapatkan 'cobaan' dari regulator yakni Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Pasalnya, regulator mengeluarkan pernyataan yang isinya mengagetkan, seperti OJK melarang fintech untuk mencantumkan logo OJK di website, padahal pencantuman logo tersebut adalah salah satu tanda bahwa perusahaan telah terdaftar di OJK
Kemudian pernyataaan bunga yang diberikan terlalu tinggi, sehingga fintech seolah disebut 'rentenir' digital.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Asosiasi Fintech (AFTECH) mengungkapkan tak mau disebut sebagai rentenir. Bunga yang diberikan kepada peminjam sudah disesuaikan dengan profil risiko. Rata-rata pinjaman yang diajukan di fintech adalah jangka pendek yakni 2 - 3 bulan. Sehingga bunga per tahun yang disebut tinggi, sebenarnya tidak terlalu memberatkan nasabah.
Wakil ketua umum Aftech Adrian Gunadi mengharapkan OJK bisa mengenali perbedaan antara penyedia layanan P2P lending yang beroperasi untuk mendukung inklusi keuangan.
Menurut dia, kegiatan pinjam meminjam dalam tekfin tidak dapat disamaratakan dengan kegiatan renternir. P2P lending tidak beroperasi seperti pay-day loan atau yang lebih dikenal dengan bank keliling.
"Sangat berbahaya bila OJK menyamakan semua model bisnis tekfin sebagai rentenir," ujar Adrian dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (6/3/2018).
Peer to peer lending menurut Adrian memiliki segmentasi bisnis yang berbeda-beda. Mulai dari yang fokus ke dana talangan konsumen dengan nominal di bawah Rp 3 juta dan termin pinjaman kurang dari 1 minggu, hingga yang melayani pinjaman untuk modal usaha mikro kecil menengah (UMKM) hingga Rp 2 miliar dengan termin pembayaran 1 - 12 bulan.
Dia menambahkan, bunga yang diberikan sesuai dengan karakteristik produk dan pendekatan mitigasi risikonya berbeda untuk masing-masing layanan. "Sehingga inilah yang menentukan tingkat bunga pinjaman yang ditawarkan dengan tetap menekankan pada aksesibilitas dan kecepatan proses," ujarnya.
Ketua Kelompok Kerja P2P Aftech Reynold Wijaya mengaku saat ini belum ada undangan dari pihak OJK untuk pembicaraan lebih lanjut. "Kami sangat mengharapkan ada undangan pertemuan untuk berdiskusi," kata Reynold.
Dia mengungkapkan sebenarnya fintech di Indonesia dibutuhkan untuk mengisi pembiayaan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang tinggi di Indonesia, yang meski telah diakselerasi dengan sangat baik namun belum dapat sepenuhnya dicapai oleh lembaga keuangan lain selama ini.
"Dengan bantuan fintech UMKM di Indonesia diharapkan bisa berkembang jadi
bankable. Karena usia usaha yang masih muda, minimnya data dan ketiadaan agunan cukup mempersulit akses pembiayaan," ujar dia.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso mengeluarkan pernyataan bahwa teknologi finansial hanya penyedia platform yang menghubungkan antara pemodal dan peminjam, karena itu tidak diperkenankan menggunakan logo OJK sebagai bentuk validasi kegiatannya.
Menanggapi hal tersebut Asosiasi FinTech Indonesia (AFTECH) meminta OJK perlu mengenali lebih dekat, membedakan dan mengawasi kegiatan teknologi finansial (tekfin), khususnya yang bergerak di usaha peer to peer lending, secara proporsional.
Wakil Ketua Umum AFTECH Adrian Gunadi menjelaskan, fintech memiliki fitur yang bisa diawasi oleh OJK. Misalnya tata kelola usaha yang baik, yang mencakup transparansi transaksi, pelaporan dengan melibatkan auditor independen, manajemen risiko yang tertata rapi untuk melindungi konsumen dan pelaku usaha yang utamanya untuk menekan non performing loan.
"Hal tersebut bisa menjadi pertimbangan OJK dalam menilai penyedia peer to peer lending (kredit dan investasi online yang berkualita," kata Adrian.
Menurut Adrian, sesuai dengan POJK Nomor 77 tahun 2016 setiap perusahaan tekfin boleh mencantumkan logo OJK di situs perusahaan agar masyarakat merasa aman, karena perusahaan sudah terdaftar di OJK.
Dia menjelaskan, fitur pemodal dan peminjam tersebut yang harus diawasi OJK. Adrian mengatakan penyedia P2P lending dapat dan perlu dilindungi oleh asuransi penjaminan.
"Hal Ini yang dapat didorong oleh OJK, daripada melarang pemanfaatan identitas OJK dan menyatakan tidak akan bertanggungjawab atas kegiatan tekfin P2P lending dan risiko yang mungkin menimpa nasabah atau konsumen," imbuh dia.
Adrian mengungkapkan, fungsi kontrol yang baik dari pihak regulator akan otomatis menyeleksi pelaku usaha yang tidak bersungguh-sungguh. Menurut dia, kegiatan usaha yang diatur dan dilindungi oleh regulasi OJK justru menjaga pelaku tekfin dari kemungkinan menyalahgunakan dana masyarakat.
"Karena penyaluran dananya kan dipantau melalui mekanisme perbankan. Potensi kolaborasi tekfin dan institusi keuangan lainnya bahkan terus meningkat dalam waktu dekat," ujar dia.
Financial technology (fintech) disebut-sebut bisa menyaingi sektor perbankan. Pasalnya, fintech memiliki cara kerja yang hampir sama dengan bank, yakni menyediakan jasa pembayaran dan pinjam-meminjam dana.
Tapi apa benar fintech masih jadi ancaman untuk bank?
Wakil ketua umum Asosiasi Fintech (Aftech) Adrian gunadi menjelaskan sebenarnya fintech peer to peer lending (p2p) atau fasilitas kredit online ini tidak akan menjadi ancaman untuk bank.
Pasalnya, P2P akan menyasar masyarakat yang belum tersentuh layanan perbankan atau unbankable.
"Kami lihat sepertinya bank bisa berkolaborasi dengan fintech, karena kami tidak menarik nasabah mereka," ujar Adrian.
"Kami berusaha menjadi agen inklusi finansial yang menyediakan akses pembiayaan bagi sektor UKM yang selama ini tidak terlayani oleh institusi keuangan formal lainnya dengan cara memanfaatkan teknologi dalam menjangkau para UKM," ujar dia.
Adrian menjelaskan fintech P2P berperan sebagai jembatan penghubung bagi institusi keuangan yang ingin memperbesar pangsa pasar kredit mereka.
Ketua kelompok kerja P2P Reynold Wijaya mengungkapkan P2P sebenarnya menargetkan masyarakat unbankable segment.
"Banyak peminjam kami tidak memiliki akses ke bank. Selain itu rate kami lebih tinggi dari bank, sehingga kami tidak tertarik mengambil pasar perbankan," kata Reynold.
Dia menjelaskan, tidak pernah menganggap P2P sebagai pesaing bank.
"Sebaliknya, apabila mereka belum bisa dilayani perbankan, maka kami siap membantu. Itulah maksud kami memposisikan diri sebagai komplementari dari bank dan bukan pesaing," ujar dia.
Jika mendengar kata Fintech pasti yang langsung teringat adalah layanan pemberi kredit secara online. Mulai dari Akulaku hingga Kredivo.
Padahal financial technology tak hanya pemberian kredit secara online. Apa saja jenisnya?
Wakil ketua umum Asosiasi FinTech Adrian Gunadi menyebutkan fintech terdiri dari beberapa jenis yakni mulai dari payment atau pembayaran, manajemen investasi, peer to peer lending (P2P), crowdfunding atau patungan.
"Ada banyak macam fintech itu, tak hanya P2P lending saja," kata Adrian.
Seperti peer to peer lending atau P2P lending yaitu kegiatan pinjam meminjam antar perseorangan. Mengutip laman resmi koinworks.com, praktik seperti ini sudah lama dilakukan.
Namun seiring berkembangnya teknologi dan ecommerce kegiatan pinjaman berkembang dalam bentuk online dan serupa e-commerce. Karena teknologi itu, seorang peminjam bisa mendapatkan pendanaan dari banyak individu.
Dalam peer lending, kegiatan dilakukan secara online melalui platform website dari berbagai perusahaan peer lending. Terdapat berbagai macam jenis platform, produk, dan teknologi untuk menganalisa kredit. Peminjam dan pendana tidak bertemu secara fisik dan seringkali tidak saling mengenal.
Peer lending tidak sama dan tidak bisa dikategorikan dalam bentuk-bentuk institusi finansial tradisional: himpunan deposito, investasi, ataupun asuransi. Karena itu, peer lending dikategorikan sebagai produk finansial alternatif.
Selain itu juga ada fintech yang memberikan layanan kredit online seperti Aku Laku dan Kredivo. Kedua fintech ini memberikan kemudahan kepada masyarakat yang ingin mengajukan kredit konsumsi seperti membeli gadget hingga barang elektronik lain.
Kemudian ada fintech yang bergerak di bidang payment atau pembayaran antara lain PayTren milik Ustad Yusuf Mansur, Selain itu dari crowdfunding ada crowdo.
Halaman Selanjutnya
Halaman