-
Direktur Jenderal Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Arie Setiadi Moerwanto mengatakan, penyebab jalan Pantai Utara (Pantura) cepat rusak ialah karena banyak truk muatan berlebih melintas. Kemudian, hal itu disebabkan oleh struktur tanah di Pantura yang lunak.
Sejalan dengan itu, Arie mengatakan, sopir truk enggan masuk tol sebagai jalur alternatif yang disediakan. Menurut Arie, sopir truk enggan masuk tol karena mereka hanya ingin jalan yang datar. Kemudian, sopir truk lebih mudah istirahat saat beroperasi di Pantura.
Lantas, bagaimana tanggapan pengusaha, benarkah truk menjadi dalang rusaknya Pantura? Apa alasan sopir truk tak mau masuk Pantura? Ini kata mereka.
Pengusaha truk menampik menjadi sumber utama rusaknya jalan Pantai Utara (Pantura) Jawa. Sebab, ada faktor lain yang berkontribusi pada kerusakan jalan itu.
Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Kyatmaja Lookman mengatakan, truk berkontribusi sekitar 30% kerusakan Pantura. Kontributor kerusakan lain ialah kontruksi jalan dan drainase.
"Kalau ngomong truk penyebab kerusakan, memang kemarin data yang dikeluarkan Kementerian PUPR kita itu salah satu penyebab kerusakan tapi bukan utama. Kita hanya kontribusi sekitar 30% sekian. Tapi penyebab utama kerusakan, konstruksi dan drainase yang kurang bagus," kata dia kepada detikFinance.
Tetapi, pihaknya tak menampik banyaknya truk yang membawa muatan berlebih. Hal itu disebabkan oleh banyak pengusaha truk yang kemudian memicu persaingan usaha angkutan barang.
Dia melanjutkan, perhitungan tarif angkutan barang di antaranya sopir, kendaraan (kredit/leasing kendaraan), administrasi, perawatan, dan bahan bakar minyak (BBM). Lanjutnya, kendati harga BBM stabil, namun komponen lain terus meningkat.
"Akhirnya yang jadi masalah ketika beban terus bertambah pendapatan nggak bisa naik, ya muatannya ditambah. Muatan ditambah ujung-ujungnya overload," ujar dia.
Kemudian, kelebihan muatan itu juga didukung oleh truk-truk yang didesain overload. Dia mengatakan, truk di Indonesia lebih berat dibandingkan negara lain.
"Truk di Indonesia jauh lebih berat di negara lain, saya bilang negara asalnya contohnya Jepang. Di Indonesia ini sekitar 11 ton untuk 3 sumbu, di Jepang itu paling 7-8 ton. Lebih ringan, daya angkutnya lebih tinggi," kata dia.
Kyatmaja Lookman mengatakan, penyebab truk lebih suka beroperasi di Pantura karena tingginya biaya ketika memakai tol. Dia mengatakan, sopir harus mengeluarkan biaya ekstra untuk masuk tol.
Dia mengatakan, biaya angkut yang dibebankan ke konsumen sekali jalan dari Jakarta ke Surabaya adalah Rp 6 juta. Kemudian dari Rp 6 juta tersebut, sebanyak Rp 2,5 juta menjadi uang jalan untuk sopir dan bahan bakar minyak (BBM). Dia mengatakan, tambahan biaya untuk tol dari Jakarta hingga Surabaya sekitar Rp 1 juta.
"Uang jalan Rp 2,5 juta, tol Rp 1 juta, otomatis sekarang uang jalan jadi Rp 3,5 juta karena uang tol tambahan," kata dia.
Dia mengatakan, uang Rp 1 juta untuk tarif tol jadi mengikis potensi keuntungan yang didapat oleh pengusaha. Dengan banyaknya potongan untuk uang jalan, BBM hingga tarif tol itu, keuntungan yang didapat pengusaha kian menipis.
"Karena masih ada biaya komponen di dalam Rp 6 juta, cicilan mobil, maintenance, administrasi paling sisanya 5-10% (keuntungan)," sambungnya.
"Ketika uang jalan tambah, tarif Rp 6 juta misal dari customer dipotong Rp 2,5 juta (uang jalan) masih Rp 3,5 juta. Kalau Rp 6 juta dikurang Rp 3,5 juta tinggal Rp 2,5 juta. Siapa yang mau nanggung Rp 1 juta. Apakah pengusaha truknya atau pengusha pemilik barang? Yang jelas nggak ada yang mau nanggung. Biaya tol itu nggak akan diserap siapapun," ungkapnya.
Tidak hanya tarif alasan sopir truk lebih memilih Jalur Pantai Utara (Pantura) ketimbang masuk tol. Selain mahal, mereka tak bisa beristirahat dengan tenang kala kelelahan.
Kyatmaja Lookman mengatakan, jumlah tempat peristirahatan (rest area) di jalan tol dinilai terbatas. Mereka tak bisa seenaknya mampir bila kelelahan.
"Kalau rest area di tol ini memang sangat terbatas," tutur dia.
Dia menambahkan, selain jumlahnya sedikit, mereka pun tak bisa berlama-lama diam di rest area. Terutama bila keadaan rest area tengah penuh.
"Kebanyakan pun 2 jam diusir, apalagi kalau penuh. Itu juga kendala sendiri," terangnya.
Tak berhenti pada tarif dan masalah tempat istirahat yang membuat sopir truk enggan masuk tol. Selain itu, lewat tol juga juga tidak ada bedanya dengan Pantura karena ada oknum yang melakukan pungutan liat (pungli).
Ketua Umum Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) Zaldy Masita menerangkan, keputusan untuk menggunakan tol atau tidak ialah keputusan subjektif sopir.
"Kalau mengejar waktu ada muatan balik dari Jateng atau Jatim ke Jakarta maka akan ambil jalan tol biar cepat. Tapi kalau tidak ada, ya ambil non-tol aja, uang tolnya bisa masuk ke kantong sopir," kata dia.
Namun, dia menyebut, ada beberapa faktor yang membuat sopir enggan masuk tol. Di antaranya ialah karena minimnya tempat istirahat.
"Salah satunya di Pantura banyak tempat persinggahan truk untuk istirahat. Sedangkan di tol, tempat persinggahan lebih untuk mobil penumpang. Jadi tidak bisa diarahkan untuk memakai tol kalau tidak ada keuntungan yang signifikan untuk sopir truk," jelasnya.
Kemudian, dia menyebut, tidak ada bedanya antara Pantura dan jalan tol. Sebab, ujar dia, di jalan tol ada oknum Patroli Jalan Raya (PJR) yang melakukan pungli.
"Kan ada oknum PJR juga di jalan tol, apalagi kalau truknya jalannya lambat, kan pasti overload. Jadi objek buat pungli," kata dia.
"Makanya buat sopir punglinya sama aja dan perlu bayar biaya tol yang mahal. Kalau nggak dikejar waktu ya mereka lewat non-tol atau Pantura. Apalagi, Jakarta-Surabaya standarnya 3 hari, cukup waktu walaupun tidak lewat tol," jelas dia.
Tarif tol yang mahal menjadi salah satu alasan truk tak mau masuk tol. Pengusaha minta tarif tol diturunkan sehingga menarik minat dari truk untuk masuk tol.
"Kalau memang jalur Tol Jakarta-Surabaya untuk angkutan barang, maka biaya tol untuk harusnya lebih murah daripada mobil pribadi bukan sebaliknya. Sehingga, truk akan beralih ke tol dan mobil pribadi akan memakai jalur non-tol atau kereta api," kata Zaldy Masita.
Dia mengatakan, pemerintah sebaiknya mendorong jalan tol untuk dipakai angkutan barang, dengan cara menerapkan kebijakan tarif murah. Atau insentif lain yang bisa mendorong truk atau angkutan barang memilih jalan tol.
"Pemerintah tidak pernah menentukan jalur transportasi antara angkutan barang dan penumpang, akhirnya menjadi kacau seperti sekarang terjadi di Tol Cikampek dan JORR," sambungnya.
Menurutnya, pemerintah mesti menentukan sikap terkait jalur tersebut. Selain lebih teratur, kebijakan harga bisa menekan biaya logistik.
"Seperti negara di Jepang, Eropa di mana jalur tolnya diutamakan untuk truk sehingga biaya untuk truk lebih murah," tutup dia.