Saham Freeport jatuh US$ 2,73, atau hampir 15%, menjadi $ 16,08. Penurunan ini menjadi yang tertajam sejak Januari 2016.
Demikian dikutip detikFinance dari Reuters, Rabu (25/4/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Freeport sendiri telah melakukan negosiasi cukup panjang dengan Indonesia untuk menjamin hak operasi jangka panjang di tambang Grasberg, setelah pemerintah Indonesia memperkenalkan aturan baru tahun lalu yang bertujuan untuk memberikan kendali lebih besar atas sumber dayanya.
Selasa kemarin, Freeport mengeluarkan pernyataan bahwa Kementerian Lingkungan Hidup menginginkannya untuk mengubah cara mengelola pembuangan limbah tambang. Sistem pembuangan saat ini telah ada selama 20 tahun terakhir.
"Kami memiliki perjanjian dengan pemerintah bahwa selama masa penambangan, kami akan mempertahankan 50% dari sisa limbah tambang di darat. Mereka sekarang mengatakan itu harus 95%, yang tidak bisa dilakukan," kata Presiden Direktur Freeport Richard Adkerson.
Dia bilang, tuntutan kementerian serasa mengejutkan sekaligus mengecewakan. Namun dia yakin ada solusi yang akan ditemukan. Dia juga mengatakan bahwa tailing atau sisa limbah yang dipindahkan dari tambang di daerah dataran tinggi oleh sistem sungai ke daerah yang terlindung di dataran rendah tidak berbahaya.
Namun demikian, hal ini telah membuat saham Freeport jatuh ke level terlemahnya dalam empat bulan, menyentuh US$ 16,06.
"Pasar berspekulasi bahwa sikap keras pemerintah terhadap tailing (pasir sisa limbah) berpotensi memperpanjang negosiasi tentang divestasi," kata analis Clarksons Platou, Jeremy Sussman.
Sebagai informasi, Freeport harus melepas saham 51% konsesi tambang kepada pemerintah untuk mendapatkan hak bisa tetap beroperasi di Grasberg. Saat ini Indonesia masih memiliki 9,36% dari saham Freeport Indonesia.
Sebelumnya, Freeport mengurangi perkiraan produksi tembaga untuk tahun ini menjadi 3,8 miliar pound dari 3,9 miliar dan menaikkan perkiraan biaya tunai tembaga menjadi US$ 1,01 per pon dari 97 sen sebelumnya. (eds/dna)