Pada pembukaan perdagangan tanggal 13 Agustus 2018, nilai dolar Amerika Serikat (AS) menguat terhadap rupiah. Mata uang Paman Sam itu tembus ke angka Rp 14.600.
Berikut fakta-faktanya:
Demikian dikutip detikFinance dari data Reuters, Senin (13/8/2018).
Nilai tukar mata uang Paman Sam berada di level terendahnya di Rp 14.492 dan sempat menyentuh level tertingginya di Rp 14.606.
Ini adalah level tertinggi nilai tukar dolar AS terhadap rupiah tahun ini. Beberapa pekan terakhir, dolar terus bergerak di rentang Rp 14.400 hingga Rp 14.500.
Pada September 2015, dolar AS berada di posisi puncak dengan nilai tukar Rp 14.730, tepatnya pada 29 September 2015. Penguatan dolar AS ini sejalan dengan naiknya suku bunga The Federal Reserve (The Fed) pada waktu itu.
Jika membandingkan posisi tertinggi tahun lalu pada periode 29 September 2015 ke 27 September 2016 maka dolar AS sudah turun 12,2% dalam waktu satu tahun.
Sejak saat itu dolar AS nyaris tak pernah menyentuh level Rp 14.000-an. Baru sebulan belakangan dolar AS melemah terus perkasa, bergerak dari kisaran Rp 13.000 hingga hari ini terus menanjak dan bahkan sempat menyentuh Rp 14.555.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengaku pemerintah akan tetap berhati-hati dengan dinamika global yang terjadi belakangan ini. Pasalnya, hal tersebut dapat mengusik stabilitas nilai tukar rupiah.
"Kita setiap hari ini selalu ada berbagai faktor bisa saling mempengaruhi. Jadi pada minggu terakhir ini faktor yang berasal dari Turki menjadi muncul secara global, karena tidak dari sisi magnitude-nya yang terjadi dinamika di Turki," kata Sri Mulyani di JS Luwansa Hotel, Jakarta, Senin (13/8/2018).
Untuk Indonesia, lanjut Sri Mulyani, pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2018 sebesar 5,27% yang didorong oleh konsumsi pun harus dipacu lagi dengan meningkatkan ekspor dan investasi.
Meski demikian, Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini mengaku akan terus mewaspadai perkembangan ekonomi dunia salah satunya dampak yang berasal dari Turki.
Dia menjelaskan, perekonomian Indonesia yang tumbuh 5,27% menandakan masih dalam kondisi baik, apalagi dengan tingkat inflasi yang rendah. Namun, agar stabilitas nilai rupiah tidak terganggu dirinya akan mewaspadai perkembangan segala bentuk neraca, baik APBN, BUMN, maupun swasta.
"Ekonomi akan terus dijaga dengan melihat waspada baik neraca yang dimiliki pemerintah yaitu neraca APBN, neraca BUMN dan juga dari sisi kebijakan moneter, inflasi rendah mandatnya BI menjaga stabilitas rupiah kita. Neraca perbankan juga diawasi oleh OJK maupun lembaga keuangan. Kita akan terus waspada dan terus melakukan exercise bagaimana kalau kondisi global menimbulkan dinamika yang jauh lebih tinggi lagi, dan itulah yang harus kita siapkan," kata Sri Mulyani.
Pemerintah, kata Sri Mulyani akan lebih fokus pada perbaikan neraca transaksi berjalan atau CAD. Pasalnya, posisi CAD saat ini masih defisit 3%. Meski masih lebih rendah dibandingkan tahun 2015, pemerintah akan tetap hati-hati.
Sri Mulyani, meminta keterlibatan para pengusaha khususnya eksportir di Indonesia untuk membawa pulang devisa hasil ekspor dan ditukarkan menjadi rupiah.
Hal itu, kata Sri Mulyani pun akan membantu pemerintah menjaga stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
"Kita juga sudah bicara dengan pihak swasta para eksportir kita untuk membawa dolarnya ke dalam negeri, tidak hanya masuk di bank dalam negeri untuk membawa devisa tetapi juga untuk stay di dalam negeri lebih lama," kata Sri Mulyani di JS Luwansa Hotel, Jakarta, Senin (13/8/2018).
Sri Mulyani menuturkan imbauan bagi para eksportir membawa devisa hasil ekspor ke Indonesia dan menyimpannya dalam waktu yang lama di tanah air pun sudah dilakukan gencar. Bahkan pemerintah siap memberikan insentif kepada para eksportir.
Dia mengaku, insentif yang diberikan untuk mempermudah jalan para eksportir membawa pulang devisa ke tanah air. Apalagi, Indonesia merupakan negara yang menganut rezim bebas dan tidak diatur khusus oleh UU yang berlaku.
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pagi ini melemah 0,9% ke level Rp 14.612. Ini merupakan level terendah sepanjang tiga tahun terakhir di tengah pelemahan nilai tukar lira Turki.
Demikian dikutip dari keterangan Bahana Sekuritas, Jakarta, Senin (13/8/2018).
Anjloknya nilai tukar rupiah lebih dalam dibandingkan mata uang negara Asia Tenggara lainnya seperti ringgit Malaysia, peso Filipina, baht Thailand, dan dong Vietnam yang tidak lebih dari 0,5%.
Namun hari ini dolar AS ternyata juga menguat terhadap banyak mata uang di dunia. Melansir Reuters, Senin (13/8/2018), hari ini dolar AS menguat terhadap mata uang euro sebesar 0,19% ke posisi 0,8791.
US$ terhadap poundsterling juga hari ini menguat 0,11% ke posisi 0,7840. Begitu juga terhadap dolar Australia juga menguat 0,31% ke 1,3751.
Dolar AS juga menguat 0,41% terhadap mata uang China yuan renminbi ke posisi 6,874. Sementara dolar Hong Kong justru bertahan di level 7.8497.
Dominasi dolar AS paling tinggi terhadap mata uang Rusia yakni ruble sebesar 2,17% ke posisi 69,1465. Kemudian menguat 1,53% terhadap mata uang Meksiko, peso sebesar 1,53% ke 19,19.
Namun yen Jepang justru tercatat menguat 0,59% terhadap dolar AS di posisi 110,15. Mata uang Swiss Franc juga naik 0,18% ke 0,9934.
Direktur Eksekutif Indef Enny Sri Hartaty mengatakan, nilai tukar rupiah ditentukan lewat permintaan dan penawarannya oleh para investor. Kondisi neraca perdagangan yang defisit membuat rupiah terus menjauh dari kata stabil.
Tekanan terhadap current account deficit (CAD) dinilai masih tinggi, apalagi menjelang akhir tahun Indonesia membutuhkan banyak sekali transfer devisa seperti pembayaran upah tenaga kerja asing dan impor.
"Sehingga tekanan ini yang dikalkulasi oleh pasar apakah ketersediaan valas yang kita hasilkan dari ekspor itu cukup nggak memenuhi valas untuk kepentingan-kepentingan tersebut. Apalagi kalau kita lihat memang tren harga minyak dunia ini masih belum berhenti sehingga itu berpotensi untuk terjadinya defisit neraca perdagangan dari sektor migas," katanya saat ditemui di kawasan Cikini, Jakarta, Senin (13/8/2018).
Hal ini menurut Enny membuat dolar kian perkasa terhadap rupiah tak hanya faktor kenaikan bunga acuan the Fed. Faktor peristiwa politik di dalam negeri juga dianggap menyumbang sentimen negatif terhadap rupiah.