Rupiah Tertekan Dolar AS, KSP: Jauh Berbeda Dibanding 1998

Rupiah Tertekan Dolar AS, KSP: Jauh Berbeda Dibanding 1998

Achmad Dwi Afriyadi - detikFinance
Kamis, 06 Sep 2018 22:40 WIB
Foto: Pradita Utama
Jakarta - Tren pelemahan nilai mata uang rupiah terhadap dolar AS tidak akan mencapai titik seperti di krisis 1998. Pemerintah tidak panik, tetapi lebih mawas diri dalam mengobservasi data market Indonesia serta berbagai perkembangan terkini di dunia internasional.

Pernyataan itu disampaikan Deputi Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-isu Ekonomi Strategis Kantor Staf Presiden (KSP) Denni Puspa Purbasari dalam sebuah acara diskusi ekonomi di Jakarta, baru-baru ini.


Denni juga menekankan Indonesia memiliki pengalaman sebagai negara yang pernah mengalami krisis-krisis sebelumnya. Selain itu masyarakat tidak perlu panik dan reaksioner menghadapi kondisi ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Karena itu percayalah, pemerintah dapat melakukan aksi pencegahan agar kita tak jatuh dalam krisis," kata Denni dalam keterangan tertulis, Kamis (6/9/2018).

"Situasi Indonesia ini jauh berbeda dibandingkan kondisi pada 1998 atau 2008. Satu hal yang pasti bahwa pada saat ini cadangan devisa kita jauh lebih kuat, lima kali lebih kuat dibanding 1998," lanjut Denni.


Hal positif lain menurut Denni, Bank Indonesia (BI) mencatat adanya aliran masuk modal asing mencapai US$ 4,5 miliar ke Indonesia.

"Selain itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga solid serta peringkat surat utang pemerintah tidak masalah, sehingga kita masuk dalam investment grade yang bagus atau layak investasi menurut lima lembaga pemeringkat ekonomi," jelas Denni.

Tak kalah penting adalah independensi BI. Menurut Denni ini beda dengan intervensi yang dilakukan pemerintah Turki dan Argentina terhadap bank sentralnya, sehingga ada hambatan ketika misalnya bank sentral ingin menaikkan suku bunga.


Di sisi lain pemerintah tidak bersikap santai menghadapi situasi ini. Pemerintah sangat mawas akan hal ini, dengan menguatkan koordinasi dengan otoritas moneter dan juga Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

Juga tak kalah penting, kata Denni, Indonesia memiliki hubungan cukup baik dengan bank sentral negara lain seperti Jepang, China, Korea Selatan, dan Australia.

"Kita punya bilateral soft arrangement, jadi saat misalnya kita butuh dolar, kita bisa minta bank sentral negara-negara itu untuk memback-up, walaupun cadangan devisa kita saat ini ada 118 Milar Dolar AS," jelasnya.

Harga bbm dan daya beli

Denni memaparkan, pemerintah menahan harga BBM sejak tahun lalu demi menjaga daya beli masyarakat terjaga, termasuk dengan meningkatkan subsidi untuk solar serta efisiensi Premium oleh Pertamina.

Terkait fluktuasi nilai rupiah terhadap Dolar AS, Denni mengingatkan, sebagai negara pengekspor minyak dan beberapa komoditas lain, Indonesia juga mendapatkan mendapatkan windfall berupa kenaikan PNBP.

"Keuntungan ini antara lain digunakan untuk mensubsidi solar agar dapat menstimulasi produktivitas di bidang industri khususnya transportasi barang dan jasa," paparnya.


Terkait daya dukung masyarakat, Denni melihatnya masih positif. Dapat dilihat konsumsi sudah tumbuh di atas 5 persen. Namun pertumbuhan ini harus terus dipantau, beserta pula beberapa indikator lainnya.

"Stabilitas ekonomi itu sangat penting, kita tidak bisa hidup dalam kondisi besar pasak daripada tiang. Apabila bertahan seperti itu ekonomi kita bisa jatuh," kata Denni

Intinya berkaca dari indikator-indikator ekonomi yang baik tadi, masyarakat tidak perlu panik.

"Yang terjadi di dunia sana biarlah terjadi di sana, kita tetap saja fokus bekerja membangun bangsa," tutur Denni.



Saksikan juga video 'Soal Imbas Krisis Turki, Sri Mulyani: Ekonomi RI Kita Jaga':

[Gambas:Video 20detik]

(hns/rna)

Hide Ads