Seperti diumumkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada Senin (17/9/2018), neraca perdagangan Indonesia Agustus 2018 mengalami defisit US$ 1,02 miliar. Pemicunya adalah defisit sektor migas sebesar US$ 1,66 miliar, walaupun sektor non migas surplus US$ 0,64 miliar.
Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Arif Budimanta menegaskan bahwa data tersebut menunjukkan ketergantungan minyak dan gas bumi nasional terhadap impor masih cukup tinggi. Hal tersebut tercermin dari nilai impor migas Agustus 2018 sebesar US$ 3,04 miliar, naik 51,43% dari posisi yang sama pada tahun lalu dengan nilai US$ 2,01 miliar (year on year).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Arif menegaskan, jika pemerintah tidak bergegas mengatasi masalah defisit neraca perdagangan, hal itu berpotensi menekan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Bahkan lebih jauh, target pertumbuhan ekonomi juga akan terpengaruh.
Secara fundamental, lanjut dia, masalah pada migas ini setidaknya harus diatasi dengan dua hal: peningkatan produksi dan pembangunan kilang untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Dengan demikian, impor migas bisa ditekan sekaligus menghemat devisa.
Sedangkan dalam jangka pendek, terkait dengan migas, pemanfaatan sumber dalam negeri secara maksimal juga sangat penting dilakukan. Mengingat hal ini terkait dengan produksi, pengawasan dan kebijakan pemerintah menjadi sangat penting.
Arif juga mengapresiasi pemerintah yang telah melakukan beberapa upaya guna mengelola impor. Salah satunya ialah dengan menunda sejumlah proyek infrastruktur yang bermuatan impor.
"Pemerintah berani mengambil kebijakan yang tidak populer tersebut. Itu semua dilakukan untuk menjaga pertumbuhan ekonomi karena harus diakui impor terus mendera perekonomian nasional," ujarnya.
Menurut dia, seandainya surplus ekspor non migas bertambah besar dan pada saat bersamaan defisit di sektor migas mengecil, peluang surplus pada neraca perdagangan semakin besar. Karena itulah, kebijakan pemerintah dalam jangka pendek itu diyakini berdampak positif terhadap perekonomian.
Dalam jangka panjang, pemerintah juga didorong untuk mengembangkan industri antara atau intermediate industry dan harus menjadi prioritas utama dalam agenda pemerintah. Industri antara tersebut terutama industri-industri yang mendukung pengembangan industri prioritas, industri yang memenuhi kebutuhan dalam negeri, dan penciptaan lapangan pekerjaan di dalam negeri.
"Pengembangan intermediate industry harus menjadi fokus utama pemerintah dalam rangka menguatkan fundamental ekonomi Indonesia sehingga pertumbuhan yang ditargetkan dapat tercapai," katanya.
Mengacu pada Badan Pusat Statistik (BPS), komposisi nilai impor berdasarkan kategori barang, kategori bahan baku dan bahan penolong mendominasi hingga 75% pada 2017. Angka tersebut tidak jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, yang berkisar di atas 70%.
Adapun jenis bahan penolong yang menguasai kategori bahan baku dan bahan penolong yakni makanan dan minuman (baku untuk industri), diikuti dengan bahan pasokan (baku untuk industri), dan makanan dan minuman (olahan untuk industri).
"Terlihat jelas komposisi bahan baku dan bahan penolong itu sangat besar dan tentunya memberi pengaruh signifikan terhadap nilai impor. Jika ini bisa dikurangi dengan produksi dalam negeri tentunya akan menyehatkan neraca perdagangan Indonesia," tutur Arif. (ega/hns)