Dolar AS 'Ngamuk' Tembus Rp 15.000, Darmin: Gemuruhnya yang Hebat

Dolar AS 'Ngamuk' Tembus Rp 15.000, Darmin: Gemuruhnya yang Hebat

Trio Hamdani - detikFinance
Sabtu, 06 Okt 2018 08:11 WIB
Dolar AS Ngamuk Tembus Rp 15.000, Darmin: Gemuruhnya yang Hebat
Foto: Lamhot Aritonang
Jakarta - Nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) terhadap rupiah pada Jumat (5/10/2018) masih betah di level Rp 15.180, tak berbeda jauh dengan kurs dolar AS sore sebelumnya di Rp 15.179.

Dolar AS sempat menyentuh level tertingginya di Rp 15.186 dan Rp 15.170 pada level terendahnya.

Seperti diketahui, nilai tukar dolar AS akhirnya tembus Rp 15.000 pada Selasa (2/10). Dari perdagangan Reuters dolar AS tembus ke level Rp 15.001 pada pukul 11.00 WIB.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Posisi ini menjadi yang tertinggi sepanjang pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), namun pemerintah menilai pelemahan rupiah saat ini belum terlalu berdampak besar.

Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution menilai dampak riil penguatan dolar AS terhadap rupiah yang tembus level Rp 15.100 tidak terlalu besar. Menurut Darmin hanya gemuruhnya saja yang hebat, alias terlalu dihebohkan.


"Jadi ini sebenarnya gemuruhnya yang hebat, sebenarnya kalau dampak riilnya itu nggak terlalu besar," kata Darmin ditemui di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat (5/10/2018).

Bagaimana penilaian pemerintah terhadap penguatan dolar AS? Simak penjelasan lengkapnya di sini:
Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution menilai dampak riil penguatan dolar Amerika Serikat (AS) terhadap rupiah yang tembus level Rp 15.100 tidak terlalu besar. Menuturnya, hanya gemuruhnya saja yang hebat, alias terlalu dihebohkan.

"Jadi ini sebenarnya gemuruhnya yang hebat, sebenarnya kalau dampak riilnya itu nggak terlalu besar," katanya ditemui di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat (5/10/2018).

Darmin bisa bilang begitu karena inflasi masih terkendali. Jika pelemahan rupiah memang berdampak besar, menurutnya akan terlihat pada naiknya angka inflasi secara cukup signifikan karena didorong imported inflation.

Imported inflation ini disebabkan karena adanya perubahan harga di luar negeri atas perubahan nilai tukar. Tapi hingga saat ini, kata Darmin inflasi inti (core inflation) masih relatif terjaga.

"Kalau kamu lihat core inflation, yang impor itu ada di dalam situ, tidak semuanya importedtapi sebagian besar imported. Itu year to datemasih sekitar 2 koma (sekian persen)," jelasnya.

"Jadi artinya apa, ada kenaikan tapi belum banyak. Saya nggak bisa bilang berapa (angkanya) karena harus dihitung dulu dalam core inflation, sebenarnya berapa persen yang imported," lanjutnya.

Menurut Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution, ada dua faktor yang menyebabkan kondisi tersebut.

Pertama, kata Darmin, pelemahan rupiah didorong oleh kondisi perekonomian AS. Dolar AS memang terus menguat seiring membaiknya perekonomian AS sejak dipimpin Presiden AS Donald Trump.

"Itu tergantung pada kondisi dan situasi yang ada. Ekonomi Amerika entah bagaimana itu, memang bagus, heran kita, jadi ekonomi AS memang bagus," kata Darmin ditemui di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat (5/10/2018).

Penyebab kedua mengapa pelemahan rupiah tidak bisa dibendung adalah karena perang dagang kian memanas dan tidak bisa direm.

"Yang kedua kelihatannya perang dagang ini sudah nggak bisa direm. Ini akan jalan, dan masing masing mulai mengembangkan strategi yang makin bercabang cabang itu. Sehingga untuk nariknya agak susah, nariknya supaya berhenti sudah susah, perlu waktu lah," jelasnya.

Dua faktor tersebut telah membuat ketidakstabilan di lingkup global, yang mana tidak bisa dihindari termasuk oleh Indonesia. Bahkan Darmin menilai ketidakstabilan global ini bakal berlanjut hingga tahun depan.

Pemerintah membuka peluang untuk membuat kebijakan baru guna mengantisipasi keberingasan nilai dolar Amerika Serikat (AS) yang terus menguat terhadap rupiah.

"Pemerintah akan terus menjaga fleksibilitas, dan bersikap untuk terus mau berubah dan mau terus memperbaiki formula kebijakan karena memang, kalau kondisi global terus bergerak kita harus juga merespon dan bahkan memperkuat perekonomian kita," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani di Gedung Dhanapala, Jakarta, Jumat (5/10/2018).

Dia menjelaskan, sentimen yang berasal dari global ini juga ujung-ujungnya akan mempengaruhi defisit neraca pembayaran nasional. Apalagi saat rupiah melemah terhadap dolar AS.

Oleh karena itu, lanjut Sri Mulyani, pemerintah bersama Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus berkoordinasi dan menjalankan bauran kebijakan yang sudah. Mulai dari pengendalian impor barang konsumsi hingga program biodiesel 20% (B20).

"Kita juga akan melihat semua aspek perekonomian kita apakah mereka mampu mengabsorb (menyerap) dan mengelola perubahan dinamika yang terjadi ini, baik itu dari sisi nilai tukar, capital flow dan kemudian dari masing-masing neraca di lembaga keuangan, di korporasi, di pemernitah sendiri APBN akan kita jaga dan dari sisi moneter dan sektor riil lainnya," jelas dia.

Tidak hanya itu, pemerintah juga harus memastikan bahwa kondisi perbankan nasional kuat dalam menghadapi dinamika ekonomi global. Serta memastikan bahwa seluruh BUMN bisa mengelola risiko global.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menjelaskan langkah yang akan dilakukan BI untuk menjaga perkembangan nilai tukar adalah terus berada di pasar untuk memastikan stabilisasi.

"Kami ada di pasar, tidak hanya memantau, tapi BI melakukan langkah stabilisasi sesuai dengan mekanisme pasar," kata Perry di Gedung BI, Jakarta, Jumat (5/10/2018).

Dia menambahkan hal tersebut dilakukan untuk menjaga supply and demand bisa bergerak secara baik di pasar valuta asing. Kemudian, BI juga terus berkomunikasi dengan pelaku pasar baik di bidang perbankan, sektor riil serta eksportir maupun importir.

Menurut Perry sejauh ini supply and demand di pasar valas masih berjalan baik. BI juga turut mengapresiasi kalangan pengusaha untuk arus masuk valas.

Perry menambahkan bank sentral juga melakukan percepatan untuk persiapan teknis berlakunya Domestik Non Deliverable Forward (DNDF) yang beberapa lalu ketentuannya telah dikeluarkan.

"Secara ketentuan sudah berlaku teknis operasionalnya, tapikan perlu ada persiapan misalnya dari perbankan di sisi konversi transaksinya, manajemen risiko, treasury dan IT hingga langkah akselerasi pelaksanaan operasional terus dilakukan," imbuh dia.

Kemudian BI juga melanjutkan langkah dan koordinasi untuk pengendalian defisit neraca transaksi berjalan dengan Kemenko Perekonomian, Kementerian Keuangan dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Hide Ads