-
Perkembangan teknologi mendorong berkembangnya industri jasa keuangan. Berkat teknologi, saat ini hadir financial technology (fintech) peer to peer (P2P) lending atau biasa disebut pinjam-meminjam online.
Dengan adanya layanan ini, masyarakat yang membutuhkan dana punya alternatif selain jasa keuangan konvensional. Untuk mendapatkan dana semakin mudah, bisa melalui telepon genggam. Kemudian, pencairan dananya pun semakin cepat.
Tak heran penyaluran dana dari pinjaman online ini semakin besar. Bahkan, layanan ini juga menarik dana dari luar negeri.
Lantas, seberapa besar penyaluran pinjaman online ini? Berapa besar bunganya? Berikut berita selengkapnya:
Layanan keuangan financial technology (fintech) peer to peer (P2P) lending atau pinjam-meminjam online berkembang pesat di Indonesia. Hal itu bukan tanpa sebab.
Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Hendrikus Passagi mengatakan, berkembangnya pinjam-meminjam online di Indonesia disebabkan oleh tingginya kebutuhan pembiayaan di dalam negeri. Dia mengatakan, data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) menyatakan jumlah UMKM di Indonesia mencapai 50 juta di tahun 2016. Artinya, kata dia, butuh pembiayaan besar untuk para pengusaha tersebut.
"Tingkat pembiayaan dalam negeri masih sangat besar," kata dia dalam acara Pelatihan dan Gathering Media di Bogor, Jumat malam (20/10/2018).
Selanjutnya, dia mengatakan, layanan pinjam-meminjam online juga menjadi solusi keterbatasan pembiayaan yang selama ini terpusat di Pulau Jawa. Dengan segala kemampuannya, dia menuturkan, pinjam-meminjam online mampu mengantarkan pembiayaan ke wilayah-wilayah pelosok daerah.
"Penilitian kami 2016 itu 70% pendanaan di Indonesia terkonsentrasi di Pulau Jawa. Fintech P2P dengan segala teknologi yang ada mengelilingkan dana ke pelosok-pelosok," ujarnya.
Dia menambahkan, adanya P2P menyalurkan dana para pemilik dana (lender) dari kota ke pencari pinjaman (borrower) ke daerah-daerah dengan cepat.
"Jadi dengan fintech orang kantong-kantong surplus mengalir ke daerah dengan cepat," kata dia.
Syarat menjadi peminjam sangat mudah, yakni terpenting adalah warga negara Indonesia. Untuk pemberi pinjaman lebih fleksibel karena orang luar negeri juga bisa meminjamkan uangnya.
"Siapapun bisa menjadi borrower sepanjang dia menjadi warga negara Indonesia, atau perusahaan yang domisili wilayah Indonesia. Siapakah lender-nya, siapapun bisa jadi lender, jadi orang Amerika bisa ikut meminjamkan uang ke Indonesia dalam bentuk rupiah untuk dipinjam ke daerah," katanya..
Penyaluran pinjaman online diproyeksi akan terus meningkat dan mencapai Rp 20 triliun akhir tahun. Hingga Agustus 2018, penyaluran pinjaman online sudah mencapai Rp 11,68 triliun.
Hendrikus Passagi menerangkan, meningkatkan jumlah penyaluran tak lepas dari kemudahan yang ditawarkan penyedia jasa ini.
"Kami antisipasi sampai akhir Desember Rp 18 triliun-Rp 20 triliun," kata Hendrikus.
Dia mengatakan, jumlah pencari pinjaman (borrower) tercatat 1,8 juta hingga Agustus. Pada akhir tahun, jumlah ini akan naik sampai 3 juta.
Terkait jumlah pemberi pinjaman (lender) saat ini mencapai 150 ribu pihak. Dirinya tak menerangkan secara detail jumlah pemberi pinjaman, baik perorangan atau institusi. Tapi, dia menuturkan, sekitar 20% berasal dari luar negeri.
"Ada aliran dana luar negeri yang sudah dikonversi mata uang rupiah untuk dipinjamkan bagi seorang peminjam, tidak ada risiko negatif sama sekali," ujarnya.
Dia menuturkan, saat ini ada 73 P2P yang diawasi OJK. Satu sudah berizin, dan 72 di antaranya sudah terdaftar OJK.
"Berizin dan terdaftar lebih pada hubungannya kalau ada calon investor baru yang akan menanamkan, kalau biasanya investor asing menyuntikan dana pengembangan usaha ini melihat status ini, dari sisi operasional tak ada bedanya," terang Hendrikus.
Hendrikus Passagi melanjutkan, P2P menghubungkan masyarakat pemilik dana (lender) dan pencari pinjaman (borrower). Dia bilang, terkait bunga memperhitungkan risiko dari pencari pinjaman.
Untuk peminjam dengan risiko rendah atau kategori A bunganya saat ini sekitar 10% setahun. Kategori risiko rendah karena peminjam memberi jaminan saat melakukan pinjaman.
"Tergantung ratingnya, kalau A kualitas tinggi itu bisa sampai 10%. Ratingnya tinggi artinya, kalau anda pinjam di bank ada jaminan nggak, kalau fintech P2P ketika anda meminjam itu pilihan anda, anda mau kasih jaminan atau tidak sama-sama dilayani," jelas Hendrikus.
"Logikanya adalah anda memberi jaminan berarti risiko lebih rendah kan maka menjadi turun," tambahnya.
Lalu, jika tanpa jaminan maka kualitas peminjam menjadi C. Hal itu menunjukan peminjam memiliki risiko sehingga bunga yang dibebankan tinggi. Untuk kategori C, bunga yang dibebankan variasi dan mencapai 50% setahun.
"Kalau range dari A ke C, A terendah 10% yang C bervariasi sampai 40-50% per tahun," ujarnya.
Meski begitu, Hendrikus meminta masyarakat bijak melihat bunga tersebut. Sebab, layanan industri keuangan lain sebenarnya juga membebankan bunga yang tak jauh beda.
"Sama dengan kartu kredit, kalau anda gestun (gesek tunai) bunganya 3% juga per bulan," terangnya.
Hendrikus Passagi mengatakan, OJK memang tidak mengatur bunga pinjaman pada P2P, namun dalam ketentuan yang ada, OJK mengarahkan agar bunga disesuaikan dengan kondisi ekonomi.
"OJK tidak pernah mengatur tingkat bunga, tapi POJK 77 jelas memberi arahan tingkat bunga. Tingkat bunga pinjaman disesuaikan kondisi perekonomian yang berlaku. Kondisi perekonomian berlaku seperti tingkat bunga rata-rata yang berlaku," katanya.
Dia menjelaskan kondisi perekonomian yang berlaku tercermin dari pasar. Misalnya, ada orang yang memberikan pinjam sebesar 20%, maka orang lain akan memberikan bunga yang tak jauh dari angka tersebut.
Menurutnya pengaturan bunga justru berisiko. Dia mencontohkan, seorang pengusaha memiliki penghasilan besar, kemudian dia membutuhkan pinjaman dengan cepat untuk mengembangkan usahanya. Tapi karena bunga dipatok, pemberi pinjaman tidak mau mengeluarkan uangnya sehingga yang terjadi bisnis pengusaha tadi terganggu.
"Justru ini mematikan, (contoh) tingkat bunga 15% maksimum per tahun, padahal ada orang di sini sektor ritel keuntungan ketika jualan keuntungan 100%, tapi karena meminjam kemari saya hanya mau 15%, saya tidak mau beri pinjaman. Jadi hati-hati melihatnya, justru orang yang meminjam tidak memperoleh akses pendanaan karena tidak ada yang meminjamkan," jelasnya.
Selain itu, dia mengatakan, penyelenggara P2P sebenarnya telah membuat kesepakatan agar bunga dan denda maksimal tidak boleh melebihi pokok pinjaman. Sehingga, peminjam dana mendapat keringanan.
"Dari penyelenggara fintech P2P itu membuat kesepakatan setelah melalui diskusi asosiasi kami memberi pinjaman dan tingkat bunga plus dendanya tidak boleh melebihi nilai pokok. Kalau misalnya meminjamkan Rp 1 juta, berapapun bunganya kalau sampai macet mau 10-20 tahun dia maksimum hanya boleh bayar Rp 2 juta," ujarnya.
Dia bilang, dalam pemberian bunga sebenarnya mengacu 3 hal yaitu tenor, nilai pinjaman, dan kecepatan pencairan.
"Yang perlu dipahami tingkat bunga pinjaman selalu ada hubungannya dengan tenor, nilai nominal dan seberapa cepat dapat pinjaman," tutupnya.