Janji Sandi Ekonomi Tumbuh 6,5% Dikritik Bak Mimpi di Siang Bolong

Janji Sandi Ekonomi Tumbuh 6,5% Dikritik Bak Mimpi di Siang Bolong

Sylke Febrina Laucereno - detikFinance
Sabtu, 13 Apr 2019 10:12 WIB
1.

Janji Sandi Ekonomi Tumbuh 6,5% Dikritik Bak Mimpi di Siang Bolong

Janji Sandi Ekonomi Tumbuh 6,5% Dikritik Bak Mimpi di Siang Bolong
Sandiaga Uno/Foto: Rengga Sancaya
Jakarta - Calon wakil presiden nomor urut 02 Sandiaga Uno menyebut jika terpilih memimpin Indonesia, ia bersama Prabowo Subianto akan membuat ekonomi tumbuh 6,5% dalam waktu dua tahun.

Dia juga menyebut pertumbuhan ekonomi nasional yang stagnan di kisaran 5,17% masih kurang.

Ekonom menyebut, janji-janji ini akan sulit direalisasikan karena kondisi ekonomi global yang juga sedang melambat.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Janji ini disebut seperti mimpi di siang bolong, apa iya? Berikut dirangkum detikFinance, Sabtu (13/4/2019).
Menanggapi hal tersebut sejumlah ekonom mengungkapkan hal tersebut adalah hal yang sulit. Pasalnya saat ini ekonomi global sedang mengalami perlambatan.

"Jadi kalau target (Sandiaga Uno) 6,5% itu mimpi di siang bolong, bahkan untuk 5 tahun ke depan kelihatannya sulit," kata ekonom INDEF Bhima Yudhistira Adhinegara saat dihubungi detikFinance, Jumat (12/4/2019).

Dia mengungkapkan hal ini karena ekonomi global juga diproyeksi rendah dengan adanya ramalan Jepang dan Amerika Serikat (AS) akan mengalami resesi dalam waktu dekat. Kemudian International Monetary Fund (IMF) menurunkan proyeksi ekonomi menjadi 3,3% dari sebelumnya 3,5%.

"Sepertinya awan mendung ekonomi dunia masih panjang," jelas dia.

Ekonom CSIS, Fajar B Hirawan mengungkapkan memang sah-sah saja jika peserta pilpres memberikan janji capaian yang bombastis saat berkampanye.

"Terkadang janji tidak masuk akal tanpa ukuran atau studi yang jelas untuk menarik perhatian dan simpati calon pemilih. Terkait pernyataan pak Sandi yang janji pertumbuhan ekonomi 6,5% adalah janji yang berlebihan," ujar Fajar.

Menurut dia, hal tersebut akan sulit dilakukan pasalnya ekonomi global melambat, harga minyak yang fluktuatif dan cenderung meningkat dan harga komoditas yang belum menunjukkan adanya tren peningkatan.

Ekonom CSIS, Fajar B Hirawan menjelaskan pertumbuhan ekonomi sepanjang 2015-2018 justru sangat ideal. Setelah mengalami tren penurunan dari 6,44% pada 2010 ke level 4,88%.

"Pada 2015 pertumbuhan ekonomi di era Pak Jokowi berhasil rebound atau kembali meningkat secara bertahap hingga 5,17% tahun 2018," kata Fajar saat dihubungi detikFinance, Jumat (12/4/2019).

Dia menjelaskan, pencapaian ini sangat positif di tengah ekonomi global yang melambat dari 5,4% pada 2010 menjadi 3,7% pada 2018. Kemudian hal lain yang perlu digarisbawahi adalah terkendalinya inflasi dalam 4-5 tahun terakhir, yaitu di kisaran 3%.

"Mengapa penting menjaga stabilitas inflasi dan berdampak pada pertumbuhan ekonomi? Karena sumbangan konsumsi rumah tangga terhadap PDB selalu berada di atas 50% dengan pertumbuhan yang juga selalu di kisaran 5% dalam beberapa tahun terakhir. Itulah pentingnya menjaga stabilitas inflasi agar tidak mengganggu daya beli masyarakat atau konsumsi rumah tangga," ungkap Fajar.

Lalu, dia menambahkan, yang paling terpenting adalah pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2015-2018 tumbuh positif dan mampu mengurangi penyakit sosial, seperti kemiskinan, ketimpangan, dan pengangguran.

Misalnya angka kemiskinan mampu berkurang dari 10,96% (2014) menjadi 9,66% (2018), ketimpangan ekonomi yang dilihat dari rasio gini berkurang dari 0,414 (2014) menjadi 0,384 (2018), dan pengangguran turun dari 5,94% (2014) menjadi 5,34% (2018).

"Pertumbuhan berkualitas yang cenderung inklusif itulah yang terpenting, bukan semata-mata pertumbuhan yang tinggi namun dibarengi ketimpangan pendapatan yang makin besar," jelas dia.

Ekonom CSIS Fajar B Hirawan menjelaskan faktor eksternal lebih menyebabkan mengapa pertumbuhan ekonomi 6,5% dalam jangka waktu 5 tahun ke depan sulit untuk dicapai. Hal ini terjadi karena perlambatan ekonomi global juga masih akan berlanjut hingga 5 tahun ke depan.

"Karena ekonomi besar di dunia, seperti Amerika Serikat (AS) dan China, secara bertahap terus mengoreksi pertumbuhan ekonominya," ujar Fajar kepada detikFinance, Jumat (12/4/2019).

Dia mengungkapkan, contohnya AS yang sudah menurunkan pertumbuhan ekonominya hingga di bawah level 3% pada 2018-2019. Kemudian China yang juga telah menurunkan target pertumbuhan ekonominya hingga 6-6,5% pada 2019.

"Hal itu secara otomatis mengurangi lalu lintas perdagangan dunia, sebagai mitra dagang utama Indonesia, secara otomatis koreksi pertumbuhan ekonomi di kedua negara tersebut akan mengurangi kinerja ekspor Indonesia," ungkap Fajar.

Faktor lain adalah harga minyak dunia yang cenderung meningkat, sementara harga komoditas belum menunjukkan peningkatan. Kemudian, normalisasi kebijakan moneter atau penyesuaian bunga bank sentral AS juga berdampak pada kinerja pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Meskipun ada tekanan dari eksternal, kinerja perekonomian Indonesia sudah menunjukkan hal yang positif. Misalnya perbaikan daya beli masyarakat yang ditunjukkan dengan inflasi umum yang turun dari 8,36% (2014) menjadi 3,13% (2018) dan bahkan inflasi bahan pangan yang turun dari 10,88% (2014) menjadi 3,39% (2018) merupakan salah satu bukti bahwa faktor internal sebenarnya cukup positif mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia.

"Selain itu, dari sektor fiskal, defisit APBN sudah turun dari 2,25% (2014) menjadi 1,76% (2018) ditambah keseimbangan primer yang turun dari Rp 93,3 triliun (2014) menjadi Rp 1,8 triliun (2018) merupakan bukti lain bahwa kondisi internal jauh lebih baik," kata dia.

Hide Ads