Pengusaha Beberkan Aturan Hambat Bisnis Ritel di Indonesia

Pengusaha Beberkan Aturan Hambat Bisnis Ritel di Indonesia

Vadhia Lidyana - detikFinance
Senin, 29 Jul 2019 22:10 WIB
Ilustrasi ritek/Foto: Angling Adhitya Purbaya
Jakarta - Pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) mengungkap, ada regulasi yang menghambat pelaku usaha di industri ritel dalam melakukan ekspansi atau pengembangan usaha.

Aturan yang dimaksud adalah Peraturan Presiden (Perpres) nomor 112 tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern yang telah revisinya telah dicanangkan sejak tahun 2015 namun tak kunjung usai.

Pasalnya, menurut Ketua Aprindo Roy Mandey, tanpa revisi Perpres tersebut pengusaha ritel kesulitan dalam ekspansi bisnisnya ke daerah yang belum memiliki Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). Ada lebih dari 500 kabupaten/kota di Indonesia, tetapi baru 30 kabupaten/kota yang memiliki RDTR.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Ketika ritel modern mau melakukan ekspansi kan berdasarkan RDTR di daerah tersebut, padahal RDTR baru ada di 30 daerah. Sulit bagi kita selama ini untuk ekspansi," jelas Roy usai menghadiri Gathering Asosiasi Pengusaha Pemasok Pasar Modern Indonesia (AP3MI) di Hotel Grand Mercure, Jakarta, Senin (29/7/2019).


Roy mengatakan, selama ini peritel modern yang mau ekspansi ke daerah yang tak memiliki RDTR harus mengeluarkan biaya yang cukup besar. Selain itu juga, proses perizinannya memakan waktu yang cukup panjang.

"Kalau pun kita ekspansi ke daerah-daerah yang tidak memiliki RDTR itu harus ada ekonomi yang tinggi, kita harus mengajukan Pergub (peraturan gubernur) supaya rancangannya masuk dan dikeluarkan izin, Kalau di kabupaten/kota Perkab (peraturan kabupaten) atau Perwali (peraturan wali kota). Ini kan prosesnya panjang. Jadi economy cost-nya tinggi sekali," terang Roy.

Revisi yang dinantikan ini yaitu memperbolehkan ritel modern ekspansi ke wilayah yang hanya memiliki Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW). Dalam revisi tersebut, Roy menuturkan ada perubahan kata 'harus' yaitu mengharuskan ritel modern ekspansi ke wilayah dengan RDTR, menjadi kata 'atau' yaitu memperbolehkan peritel modern ekspansi ke wilayah yang hanya punya RTRW.

"Jadi lebih fleksibel. Kalau tidak ada RDTR nanti bisa pakai RTRW. Kalau RTRW hampir semua daerah punya, minimal zonasilah. Sehingga, kepala daerah tidak harus ada RDTR untuk keluarkan izin ekspansi ritel," papar dia.


Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Tjahja Widayanti mengungkapkan, penyelesaian revisi Perpres nomor 112 tahun 2007 diharapkan rampung akhir tahun ini.

"Saya sih maunya dulu awal tahun 2018 selesainya Maret gitu ya. Tapi sampai sekarang belum. Rasanya sih ya (bisa selesai tahun ini), insyaallah ya akhir tahun," tutur Tjahja.

Industri Ritel Tertekan Perlambatan Konsumsi

Lembaga Riset Nielson Indonesia mengungkapkan pelemahan industri ritel dalam negeri salah satunya disebabkan oleh turunnya konsumsi pada masyarakat kelas menengah bawah.

Berdasarkan data Nielson yang disampaikan oleh Executive Director Yongky Susilo, pada toko tradisional yang mencatat konsumsi kelas menengah bawah tumbuh negatif sebesar 4% di semester I-2019.

Namun, konsumsi kelas menengah atas justru tak mengalami penurunan. Data penjualan ritel modern pada kelas menengah atas tumbuh 9% pada semester I-2019.

Sementara itu, pertumbuhan konsumsi Indonesia pada kuartal I-2019 sebesar 5,01%. Namun, menurut Yongky angka tersebut yak mencerminkan kondisi pertumbuhan ritel. Dari penelitiannya, ternyata rumah tangga kelas bawah sangat mengontrol dan menahan volume konsumsinya.

"Makannya global office mempertanyakan, katanya (konsumsi) Indonesia tumbuh 5%, tapi kok seperti (ritel) tidak jualan di Indonesia. ini yang susah menjelaskan kemarin kepada CEO ada apa dengan Indonesia," tutur Yongky dalam Gathering Asosiasi Pengusaha Pemasok Pasar Modern Indonesia (AP3MI) di Hotel Grand Mercure, Jakarta, Senin (29/7/2019).

Menurut Yongky, bantuan sosial yang diberikan kepada masyarakat kelas menengah bawah tak berpengaruh signifikan pada pertumbuhan konsumsi dalam negeri. Pasalnya, masyarakat tersebut tak bisa membelanjakan langsung. Untuk itu, ia menyarankan ditekan program cash for work atau padat karya yang memberikan upah tunai kepada pekerja.

Lalu, untuk merealisasikan cash for work pemerintah perlu membuka lapangan kerja melalui proyek skala besar. Pemerintah juga perlu mempermudah izin usaha bagi swasta sehingga dapat menciptakan lapangan kerja.

"Makanya untuk swasta berusaha dibuat suasana usaha yang positif. Izinnya dipercepat, jangan diganggu, dikasih semangat, dikasih kesempatan, buka ekspor, dan buka distribusi ke dalam negeri. Itu saja," imbuhnya.

Dengan hal tersebut, menurut Yongky daya beli masyarakat dapat meningkat.


(dna/dna)

Hide Ads